Nyinyiran Sang Filsuf


Demos dicampur kratos, kata orang, yang kurang lebih berarti kekuasaan rakyat, konon lahir di Yunani dan kini banyak diadopsi oleh negara-bangsa di dunia. Dalam “kekuasaan rakyat” itu terkandung prinsip mendasar, bahwa dalam setiap pikir dan geraknya, negara harus menyertakan peran rakyat, secara langsung maupun diwakilkan. Prinsip ini pula yang menjadikan sebuah negara demokrasi sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan berbicara dan berekspresi, persamaan hak bagi seluruh warga, terutama di hadapan hukum, dan blablabla, yang kurang lebih intinya: aku mau berak di atap rumahku ya terserah aku, kamu ndak usah ikut campur. Apa guna berak di atap? Itu pun urusanku. Yang penting aku ndak melanggar hukum.

Demokrasi kemudian seolah buat main-main, asal jeplak, yang penting ekspresif—selucu Rocky Gerung, filsuf tersohor yang ingin mengedepankan dialog tapi lebih sering nyinyir; senaif anak-anak nakal yang menduduki pundak patung pahlawan, mencandai ibadah agama lain, meledek seseorang yang konon ulama; yang lalu tindak-tanduk itu diseriusi dengan berlebihan oleh orang-orang tua yang kurang piknik, kurang kopi, dan—meminjam bahasa Niken Supraba—sebetulnya sedang marah pada kemiskinan yang dialaminya. Sepantasnya, meski retoris, kita bertanya kembali: apa urgensi demokrasi di Indonesia? Kalau keluarannya cuma nyinyiran, ledek-ledekan, lapor-laporan ke polisi, kampanye berisi hoax, remeh temeh hembleh kupeh crat crot, kok ya menyedihkan sekali.

Sebagian besar dari negeri ini, bahkan yang selevel filsuf, akademisi, barangkali sebetulnya belum siap berwacana. Dialog-dialog hanya terjadi dalam suatu panggung imajiner, yang tidak lain adalah kepalanya sendiri, dan di sana dia berargumen lantas mendapat tepuk tangan dari lawan bicaranya, yaitu dirinya sendiri; dia kemudian muncul ke temlen sebagai manusia narsistik yang mengalami orgasme tiap kali mendapat retweet. Konflik yang terjadi masih seputar urusan perut untuk satu-dua hari ke depan, tidak punya pandangan yang jauh, tidak pula terkonsep dengan utuh. Mana pula ada bayangan tentang cita-cita yang tinggi. Kalaupun ada, paling banter mengejar pertumbuhan ekonomi, atau dijadikan ornamen saja semisal demokrasi atau Pancasila, biar negeri ini terkesan punya visi, dan sesekali bisa diambil paksa untuk mencari muka di tengah kebisingan yang chaotic ini.

Saya kemudian mafhum mengapa kastanisasi masih relevan di tanah ini. Tidak semua orang siap mendengarkan pendapat dan layak berpendapat, tidak pula semua orang siap dihakimi dalam suatu benturan wacana dan layak untuk menghakimi orang lain—bahkan jika hanya dengan mulutnya, apalagi jika dengan mendatangi kediaman orang tersebut lalu menempeleng jidatnya. Ada banyak orang yang lebih baik tidak bersentuhan dengan wacana-wacana besar, semisal tentang PKI, khilafah, konflik Israel dan Palestina, dan cukup dinasehati tentang tata cara bersabar dan bercocok tanam, sebab kepalanya belum punya daya untuk meragukan suatu wacana, apalagi untuk menelaahnya lebih jauh, dan dia akan lebih pas bila menjalankan kerja-kerja teknis yang itu pun untuk kesejahteraannya sendiri. Kesadaran akan keterbatasan ini hampir mustahil untuk dicapai, terutama di jaman ini, di tengah maraknya para pembela kebebasan berpendapat—meski pendapat yang diutarakan itu tak ada isinya, dan yang berisi justru jadi tak terdengar. Lucunya lagi, orang-orang yang nganu ini, yang sanggup mengenal teks dan simbol namun tidak sanggup mempelajari konteksnya, yang berulang kali dibohongi politisi dan tetap percaya, masih tetap punya hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya. Hasilnya ya bising saja.

Lalu, sekali lagi, apa urgensi demokr—udah ah, kungantuk. Tak usah dipikirkan. Kita retweet lagi saja nyinyiran Rocky Gerung, sebab itulah bentuk dialog yang menggelitik yang bakal melahirkan pencerahan bagi bangsa ini. Allah~