TEMU MAMA

NENEK belum bangun. Sudah jam 8 pagi. Aku lapar sekali.

Tepat hari ini, satu tahun kami tinggal rumah nenek di Sumedang. Bapak kena PHK lalu jadi ojek. Dia tetap di Tangeang, tidak ikut pulang karena katanya tidak cocok dengan suasana kampung. Mamah masuk ruang isolasi rumah sakit sejak seminggu lalu. Dia bilang akan kembali secepatnya dan aku percaya. Harusnya cuma dua minggu. Kutunggu dengan sabar meski tak banyak juga yang bisa dilakukan. Sekolah yang rencananya akan tatap muka akhirnya kembali online. Tahun ini aku akan lulus dan masuk kuliah—membayangkannya saja sudah membuatku mulas. Aku tak akan punya teman sama sekali. Berkenalan selalu melelahkan, apalagi kalau dilakukan secara virtual. Kamu harus mengetik banyak sekali, atau bicara banyak sekali, padahal tidak ada siapa-siapa di hadapanmu.

Sebetulnya tak banyak yang tejadi selama setahun ini, tapi aku merasa sangat lelah. Tiap pagi aku akan mendengar nenek mengomel di depan televisi, biasanya di pagi hari setelah selesai menyapu halaman, membuka gembok pagar, lalu membuat sarapan. Corona semakin parah karena ada varian Delta, katanya, itu karena orang India keras kepala, mirip orang Indonesia. Orang Madura dan Padang bahkan lebih parah dari orang India. Pemerintah sebetulnya mengurus apa sih, sudah genting begini tidak ada kebijakan apa-apa, cuma mengulangi lokdon abal-abal seperti tahun lalu. Itu oksigen sudah habis di mana-mana, orang mati kehabisan napas di rumah sakit. Kalau rumah sakit saja kehabisan, apalagi orang biasa yang isolasi mandiri. Sudah gawat begini, Jokowi cuma ngurus pariwisata. Semua hal dipajakin. Semua program diproyekin. Kalau uangnya tidak dikorupsi, negara ini bisa membiayai lokdon yang sungguh-sungguh. PDIP ini patai miskin yang cari uang dari rakyat.

Usia nenek sama dengan Susi Pujiastuti, mantan menteri Kelautan yang jadi idolanya. Dia sakit hati sekali waktu Bu Susi diganti. Nenek sering bilang, sekolah tidak harus tinggi, tapi pendidikan harus tinggi. Ibu Puji itu contoh yang bagus. Sejak mama masuk RS, nenek lebih sering mematikan televisi lalu mengomel kepada ayam-ayamnya di halaman belakang, apalagi kalau salah satu ayam itu eek di teras. Dia seperti berinteraksi dengan anak-anaknya sendiri, dan di lain waktu dengan mudah menyeret salah satu ayam itu untuk disembelih. Aku sering merasa kesepian melihatnya begitu. Aku ingin punya ayam juga. Mau kuberi nama, kurawat, dan tidak akan kusembelih sampai kapan pun. Kurasa itu hubungan yang lebih menyehatkan ketimbang dengan beita politik atau sinetron.

Di rumah ini ada kucing bernama Hasan tapi dia pendiam sekali. Dia tidak bisa diajak bicara, dia dingin-dingin saja sekalipun dipatahkan ekorrrrrrrnya.

Sialan, huruf R di keyboard ini mulai rusak.

Tolong jangan usak. Sudah tak ada uang. Atau cukup R saja, tidak apa, tapi jangan yang lain. Aku bisa hidup tanpa R. Tapi sulit bagiku hidup tanpa M. Tak bisa kubayangkan. Tak boleh.

Aku mau goreng telur dulu. Nenek sepertinya kecapekan makanya belum juga bangun. Sebenta lagi kulanjutkan catatan ini.

SAAT membuat saapan, aku sempat tercenung di hadapan tumpukan telur. Ada banyak bahan makanan yang diberikan Uwa. Makan siang dan makan malam selalu datang dalam bentuk siap santap. Terkadang rasanya enak sekali, tapi seringnya biasa saja, bahkan hambar. Corona mengubah banyak hal. Mimpiku untuk kuliah di UI perlahan harus kutepikan. Keinginanku untuk liburan ke Jogja, Malang, dan Bali. Semua uang tabunganku sudah ludes. Lidahku kehilangan nafsu makan. Soal lidah ini mungkin ada kaitannya dengan hidungku yang berganti selera. Sebelum kena Corona, aku amat suka aroma bawang merah goreng. Aku suka sekali aroma bawang meah dalam sepiring nasi goreng buatan mama. Sekarang aroma itu lebih dekat dengan sesuatu yang busuk.

            Tapi akan tetap kumakan jika Mama sekaang pulang lalu memasak untukku. Aku tak bisa bohong, aku khawatir sekali. Mama memang lebih beuntung kaena dia masih kebagian oksigen sampai hari ini. Tapi sampai kapan? Siapa pun tak bisa tenang bila menyadai nyawa ibunya bergantung pada keberuntungan sepeti ini. Satu atau dua jam kemudian oksigen itu bisa habis dan sudah tak ada tabung pengganti. Kau takkan mau ibumu berada di posisi itu. Jangan bayangkan. Jangan bayangkan. Simulasi yang terjadi dalam kepalamu tidak akan mendekati apa yang sebetulnya kualami. Apakah seseram itu? Apakah tidak ada sisi baik yang bisa jadi hibuan?

            Ternyata sudah jam 2 malam.

Nenek belum bangun juga.

AKU ingin mandi, memakai seagam, lalu sarapan.

            Aku akan mandi, memakai seragam, lalu saapan.

            Aku ingin bangunkan nenek. Lalu berangkat sekolah.

            Aku akan bangunkan nenek—atau nanti saja?

            Nenek pasti sudah lelah sekali. Aku tak mau mengganggunya. Tak boleh.

BAPAK kasih kabar, dia tak akan pulang akhi pekan ini. Tangeang sudah sepeti Jakarrrta, bukan lagi merrrrah, melainkan ungu. Dan lagi aku sudah positif begini. Tak seorang pun boleh masuk ke rumah ini, apalagi keramaian seperti ketika Mamah dijemput ambulan. Orrang-oang begeombol di paga umah, menahan segala ekspresi mereka seperti menyaksikan kecelakaan lalulintas yang korbannya mati dengan identitas yang belum jelas. Polisi sempat berusaha mengusir mereka, tak ada hasilnya. Aku bisa paham kenapa keluargaku jadi tontonan. Corona belum banyak muncul di kampung ini, atau mungkin belum banyak diakui. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Mamah pun termasuk orang yang tidak bisa wok from home, tidak bisa betul-betul patuh pada prokes. Dia karyawan pabik sepatu di Cikarang. Saat satu karyawan positif Corona, manajemen sempat menawakan operasional untuk disetop sementara. Tapi pemilik pabrik bilang kalau disetop begitu sekalian saja PHK semua. Mamah harus tetap masuk. Dia dan 236 karyawan lain dinyatakan positif.

            Siapa yang harus kumarahi?

            Aku punya banyak alasan untuk mengomeli Pak Jokowi, tapi buat apa. Maksudku, apakah itu akan ada gunanya? Sejak lahir sampai hari ini, aku tak pernah merasa bisa meminta tolong kepada negara, atau pejabat negara begitu. Kurasa mereka berada dalam kehidupan mereka sendiri, sesuatu yang amat berbeda dengan apa yang kujalani, dengan apa yang sebagian besar orang jalani. Amat sukar untuk bicara kepada mereka, apalagi untuk didengar, sekalipun itu tentang hilangnya orang-oang terdekatmu. Aku tak tahu, sampai di kalimat ini, sepertinya aku ingin tidur saja.

            Sudah jam 3 sore sekaang. Aku harusnya membangunkan nenek.

            Aku ingin. Tapi tidak. Lebih baik aku diam saja di kamarku sampai lima hari berikutnya. Sudah kubawa sekardus mi instan dan satu galon air dan makanan lain. Aku akan jumpa lagi dengan Mamah. Kita akan kembali ke Tangerang. Itu saja harapanku sekarang. Sedehana sekali, kan? Aku cuma ingin kumpul lagi dengan Bapak, karena sejujurnya aku pun tak cocok dengan suasana kampung. Aku akan bilang, ayo Bapak, kita balik lagi ke kos-kosan kecil kita yang dulu, yang setahun lalu. Dari situ kita ulang lagi semuanya.

Tinggalkan komentar