Semut-semut berkarbu merayap di tepi Kali Item, meraung satu sama lain. Dahan mahoni bergoyang-goyang di pekarangan hotel, bayangannya seolah membantu para tamu untuk parkir teratur. Beberapa tahun kemudian, dia mungkin tumbang dan membantu para tamu itu mengklaim asuransi.
Dari kaca bening kamar 701, kuperhatikan lampu jalan jatuh ke muka kali, memercik seperti gerimis di atas tumpahan oli, dan aku mulai bicara kepadanya. Oy, Item, kubilang, sejak kapan kau menjadi pendiam, hitam pula? Dan kenapa? Apa kau masih ada hubungan darah dengan Laut Hitam? Tahu tidak, bagiku kau lebih cocok disebut kubangan—kubangan yang sangat panjang. Tidak ada yang bergerak, bahkan buih dan telur nyamuk, diam mengunci diri di permukaanmu. Kebetulan saja kau diberi nama “kali”. Si kali cuma diam. Oh, yaya, benar juga, kubilang, mungkin kau itu kali yang hanya bekerja di musim hujan, itu pun untuk menebar teror kepada warga Jakarta. Aku suka kali sepertimu.
Aku tidak bisa tidur malam ini. Jantungku girang betul karena besok perempuan itu akan datang. Dia sudah tahu hotel tempatku menginap, kubilang langsung naik saja, karena aku tidak suka jakarta dan aku tidak mau keluar kamar, bahkan sekadar untuk turun ke lobi. Tapi kalimat terakhir itu tidak kukatakan. Besok kami akan makan di auce. Entah itu restoran apa. Katanya lumayan mahal, dan dia sempat membatalkan rencana ini karena gajinya belum juga turun. Aku memaksa, kubilang ayo lakukan, aku ada uang, aku senang bisa memakai uangku untuk sesuatu yang kusayang.
Akan kuceritakan tentang gajinya, meski kalian pasti sedih.
Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya masih kuliah. Kedua orang tuanya menggeluti usaha rumahan yang penghasilannya tidak seberapa. Dia bekerja mulai setengah enam pagi, menaiki KRL yang selalu kehabisan kursi, lalu pulang pukul tujuh atau delapan malam, lagi-lagi melalui KRL yang kali ini berisi orang-orang bau terasi, di sebuah perusahaan yang hampir semua pekerjanya beretnis Cina sementara dia seorang Sinaga. Gajinya 7 juta rupiah. Dari besaran itu, dia menikmati 11%-nya saja, dan sisanya, yang lebih besar, untuk keluarga. Gajinya dipakai untuk renovasi rumah orangtuanya, untuk biaya les dan kuliah adik, dan lain-lain, sampai-sampai dia pernah, di suatu malam menangis kepadaku sambil menunjukkan foto dress seharga 90 ribu, katanya, “Aku ingin sekali baju itu. Kenapa aku tidak bisa memenuhi keinginanku sendiri? Kenapa aku tidak punya uang untuk itu?”
Ada sesuatu yang salah, batinku, ketika dia bekerja selama dua tahun, bahkan dengan gaji yang pernah dua kali lipat dari itu, tapi tak sedikitpun dia punya tabungan. Ada yang tidak bisa kumengerti: dia sangat menghormati kedua orangtuanya, bertahan bersama mereka, di tengah tekanan semacam itu, dan ayahnya pernah mencibir, “Puisi-puisimu itu tahi ayam! Makan sana dari puisi-puisimu!”
Sebagai orang tua kau harusnya tidak begitu. Dimaknai dari sisi mana pun, itu tetap salah. Sangat salah. Dan kau layak mendapat bogem di mukamu.
Kubilang, kalau aku jadi kamu, aku mungkin sudah memisahkan diri dari orangtuaku. Aku tidak mungkin tahan. Sayangku akan tetap kepada mereka, tapi mungkin caraku akan berbeda.
Dia sangat mencintai puisi. Itulah satu-satunya tempat sembunyi. Bila kau main ke akun Instagramnya, kau bakal menemukan puluhan, bahkan ratusan puisi yang menjerit, menangis, dan tertawa untuk dirinya sendiri. Dalam salah satu puisinya, yang berlatar pintu KRL yang sedang bergerak cepat, dengan tone kuning senja yang pekat, dia bilang:
dia bertanya padaku,
‘bagaimana bisa menjadi sekuat itu?’
kubilang, ‘hidup tanpa pilihan.’
Astaga, dulu aku pernah bercanda: di jakarta orang melihat begitu banyak pilihan, tapi orang akan selalu memilih secara terpaksa. Jangan-jangan itu benar.
Kunaikkan suhu AC yang mulai keterlaluan. Kurebahkan tubuhku di kasur. Ponselku bergetar beberapa kali tapi biar. Aku sedang ingin bicara dengan diri sendiri dan tak ingin diganggu. Agar adegan ini lebih sinematik, kuputar New York, New York yang dinyanyikan Carey Mulighan. Lampu-lampu perlahan menjadi kunang-kunangnya Kayyam. Lampu-lampu pada dua menara sinyal menempias di mataku yang mulai tebal. Kali Item bergerak perlahan dan tenang, seperti Danube yang membelah Wina—yaya, yang ini berlebihan.
Jam 8.13 pagi seseorang mengetuk pintu. Dia berdiri di sana, dengan lipstik merahnya. Kausnya hitam berlengan panjang. Dia lebih cantik dengan celana jins seperti itu.
Obrolan kecil terjadi. Dia terlentang. Enak sekali jam segini masih bisa rebahan, katanya. Sesekali kupeluk lututnya yang terlipat. Sesekali dia memeluk tanganku yang tergeletak. Aku tidak tahu kenapa kami belum juga saling mencium. Kunyalakan lagi New York, New York. Di tengah lagu, dia memelukku lebih dalam, lalu menangis. Selama lima menit dia begitu, kubiarkan mengelap airmata dengan kausku, kuusap punggungnya pelan, kubilang, tidak apa, tidak apa, apa pun itu, tidak apa.
“Aku ingin jadi buah-buahan saja, aku lelah sekali,” katanya.
“Ya, ya.”
“Mau jadi buah apa?”
“Aku?”
“Aku mau jadi melon.”
“Aku salak.”
“Ganti lagunya,” katanya.
Let Me, Let Me, Let Me Get What I Want berputar dalam kamar. Kuusap pipinya yang basah. Kubilang, nanti kita naik Gocar saja ya, jangan busway. Mahal, katanya. Tidak apa, kubilang, aku sudah bekerja keras untuk mendapatkan uang ini, dan aku ingin memakainya dengan ringan.
“Can I kiss you?”
Dia mengangguk.
Rileks, kubilang, kendurkan badanmu.
Dia punya trauma serius soal seks. Kalau kuceritakan, kalian pasti ikut berduka. Dan kalau tidak kuceritakan, kisah ini bakal tidak lengkap. Aku sebetulnya bosan menceritakan kesedihan, tapi bagaimanalah lagi, hidup memang berkutat di sana.
Saat kuliah, dia pernah hampir diperkosa—aku tidak tahu apakah penggunaan kata “hampir” di sini sudah tepat. Hari malam kala itu, dia baru saja menyelesaikan latihan paduan suara. Dia dan grup paduan itu akan berangkat ke Vienna bulan depan. Pada masa itu, dia juga seorang atlet renang muda yang punya prospek bagus. “Dulu, jarak 50 meter bisa kutempuh dengan 38 detik,” katanya, “tapi sekarang 3 menit pun sudah cukup bagus.” Tubuhnya diseret oleh pemabuk, di sebuah gang menuju kamar kos, ke sudut aspal yang tak terpantau lampu jalan. Kakinya dikangkang. Kedua tangannya dicengkram. Lelaki itu melepas kaus. Entah apa saja yang sudah diraihnya dengan tangannya yang kasar dan mulutnya yang bau bangkai. Perempuanku ini tidak bisa menjerit. Dalam sekian waktu dia hanya bisa menoleh ke sana-kemari berharap seseorang melintas di sana. Seseorang melihat kejadian itu namun lebih memilih sembunyi ke dalam rumahnya. Sayangnya ini bukan sebuah film. Tak seorang pun datang. Dia mengumpulkan tenaga, meledakkannya dalam sekali hentak, dan berhasil memberontak. Dia lari seperti anak gajah linglung. Sejak malam itu semuanya jadi berbeda. Dia gagal menuju Vienna. Dia gagal menjadi atlet renang tingkat provinsi. Dia gagal ini, dia gagal lainnya. Selama bertahun-tahun dia tak mampu melihat lelaki yang telanjang dada.
Sentuhanku kepadanya adalah sentuhan yang berisi kegentingan. Aku tidak tahu titik-titik rawan pada dirinya dan bisa saja kusentuh itu tanpa sengaja. Kuciumi pipinya, hidungnya, matanya, keningnya, kubilang betapa aku menyayanginya, I love you berpuluh kali, I love you dikali seribu.
“Can I give you a hikki?”
“Apa itu?”
“Aku bakal menciumi lehermu. Mungkin akan ada gigitan kecil juga.”
“Harus ya bertanya dulu?”
“Aku mau memastikan kamu siap.”
Dia mengangguk.
“Kamu tidak suka pijit ya?”
“Kadang dipijit adik. Kenapa?”
“Badanmu kaku sekali.” Kutatap matanya sebentar, “Itu bukan masalah sih, tapi kamu akan lebih senang kalau bisa lentur. Kamu kurang rileks.” Aku terdiam lagi. “Tapi mungkin solusinya bukan pijit, tapi keluar dari Jakarta. Jakarta ini toksik.”
Kembali kuciumi pipinya, keningnya, matanya, hidungnya, dan bibirnya, lalu lehernya. Kusentuh belakang kepalanya. Kuraih lengan satunya. Sesekali kubilang aku ingin kamu bahagia. Kubilang orang harus menyayangi diri sendiri. Orang harus jujur tentang apa yang dia mau. Dan aku berulang-ulang berkata pada diriku sendiri, jangan lukai perempuan ini, jangan jadi lelaki brengsek, dengar apa yang dia mau, dengar semua ceritanya, temani dia seperti kau menemani dirimu sendiri saat sedang lelah-lelahnya.
Dia menggores-gores jarinya di keningku. “Coba tebak aku gambar apa,” katanya.
Aku pura-pura berpikir. “Oh, simbol hati ya?”
Dia mengangguk gesit. Wajahnya berbinar seperti anak lelaki bermain pistol air. “Kamu pintar sekali. Kamu lelaki paling pintar yang pernah dekat denganku. Coba tebak lagi ya,” katanya. Ujung telunjuknya meliuk lagi di keningku.
Kali ini aku sulit membacanya.
“Nyerah?”
“Sebentar. Ular ya?”
“Bukan.”
“Api?”
“Bukan.”
“Hmmm, tambang?”
“Nyerah.”
“Itu taik.”
“Anjirlah.”
Tengah hari kami keluar. Di auce, yang ternyata adalah singkatan dari All You Can Eat, pelayan menawarkan potongan harga dengan Ovo atau dengan menginstall aplikasi tertentu. Tidak usah deh, kubilang, itu repot sekali, aku cuma ingin makan. Dia lagi-lagi menegurku. Kamu boros sekali, katanya. Kita tidak setiap hari bertemu, kataku, dan aku punya reward semacam ini buat diriku sendiri: karena aku tidak merokok, karena aku olahraga dengan youtube, bukan nge-gym, karena aku tinggal di kantor, bukan menyewa kos sendiri, aku menyediakan uang sebesar 1.000.000 rupiah per bulan untuk bersenang-senang. Bisa kupakai untuk mentraktir kawan-kawanku makan, karaoke, memberi tip besar untuk abang gojek, atau menyewa hotel yang agak mahal ketika ke luar kota. Ini hadiah untuk diriku yang mau berhemat.
“Aneh sekali,” katanya.
Dia mengambil potongan cumi dan bacon, aku mengambil cacahan ayam dan irisan sapi. Aku tidak yakin bisa makan banyak dan memang menghindari itu. Kepalaku jadi bodoh saat kekenyangan lalu aku akan kesal pada diri sendiri. Di meja makan, dia menata daging-daging di atas panggangan. Aroma bakaran segera merasuk ke hidung. Astaga aku sangat suka daging. Dan aku lebih suka wajahnya ketika mengunyah daging. Aku tidak boleh jadi orang miskin, batinku, aku harus punya uang untuk makan daging bersama orang-orang yang kusayang.
Coba kulanjutkan obrolan kami yang tertahan. “Aku sering tidak tahu uangku harus kupakai apa. Aku bukan orang yang senang jajan. Makanku sedikit. Pacar juga tidak ada. Jalan-jalanku cuma ke gunung atau pantai. Tapi seperti sekarang ini, aku senang melihat wajah orang yang kutraktir makan. Uang yang kupunya jadi terasa ada nilainya.”
“Ditabung saja. Kamu beruntung lho tinggal di Jogja. Anak-anak muda Jakarta sulit menabung. Tuntutan hidup mereka terlalu tinggi.”
“Anak muda Jogja malah tidak punya kesadaran soal menabung.”
“Uang mereka habis untuk apa?”
“Kopi dan senja dong.” Aku menahan diri. “Tidak lucu ya?”
“Garing banget. Lebih garing dari piring.”
“Aku ada rencana mau buka deposito atau reksadana.”
“Aku sendiri mau buka warung pecel lele. Buat sampingan saja.”
“Nah kan, anak Jakarta mikirnya sudah invest, bukan lagi nabung.”
Kali ini dia tertawa.
“Ya, ya, lele selalu prospektif.” Aku menahan daya kritisku. Membuka warung bukan perkara yang bisa dijadikan sampingan. Jikapun kau buka warungmu cuma di malam hari, siang harinya kau bakal sibuk mengurus ini itu. Tapi ini akan kukatakan lain waktu, mungkin saat kami berpelukan lagi, dan akan kusarankan dia untuk berjualan pakaian saja di medsos, atau menjadi reseller produk jadi. Itu usaha yang lebih pas sebagai sampingan, dan tidak terlalu beresiko kalaupun harus mempekerjakan orang lain sejak awal.
“Aku senang sekali,” katanya. “Ini pertama kalinya aku kencan di auce.”
“Aku juga senang kamu bisa jujur.”
Di mobil menuju hotel, dia tampak gelisah, yang kemudian kutahu karena menahan berak. Dia bisa makan 5 kali sehari dan berak 6 kali sehari. Dia juga mandi sebanyak 3 atau 4 kali dalam sehari. Kubilang, ¾ hidupmu dihabiskan untuk memesan makanan, melamun di toilet, dan nyanyi di kamar mandi. Ya, bukan cara yang terlalu buruk untuk hidup. Kutepuk-tepuk pahanya, kurabai lututnya, sampai dia kesal. “Jangan begitu,” dia bilang, setelah menyebut namaku dengan nada tinggi, “nanti kalau aku berak di lampu merah kamu mau tanggung jawab?”
Sampai di kamar, dia bergegas ke toilet, sekitar 2 menit saja, lalu keluar dengan wajah lebih cerah, tapi kemudian dia bilang tidak jadi berak. Beraknya tidak mau keluar. Aku tidak paham bagaimana perutnya bekerja. Perutku pun penuh sekali, dan aku tahu besok pagi pasti kukeluarkan semua. Kami saling memeluk lagi dengan perut yang bulat.
Kali Item tampak buruk rupa di siang hari.
Bunga Matahari dari Natania Karin dkk. berputar-putar dalam kamar. Coba perhatikan bunyi gitarnya saja. Coba perhatikan. Aku ingin memeluk gitarisnya.
Dia memindah-mindah saluran televisi. Ingin cari drama korea, katanya. Sampai akhirnya dia menyerah dan memilih menonton berang-berang mandi di NatGeo Wild. Aku jadi teringat buku yang kubawa dalam perjalanan ini, Life of Pi, di sana aku mendapat gambaran lain tentang kebahagiaan para hewan. Orang kerap berpikir, hewan di kebun binatang tidak bahagia karena tidak hidup bebas. Pi menggugat: benarkah kebebasan itu membahagiakan? Kebebasan yang dimaksud adalah ketidakpastian dalam hidup. Dalam kebebasan, si hewan tidak tahu kapan akan memangsa atau dimangsa; dalam kebebasan, si hewan harus berhadapan langsung dengan manusia, sebagai musuh, bukan sebagai pengunjung dan yang dikunjungi. Di kebun binatang dia bisa makan dengan enak, punya teritori yang tidak perlu diributkan lagi, dan—“Eh, si anu sudah punya gebetan baru,” katanya, membuyarkan lamunanku. Dia tampaknya menyinggung sahabat terdekatnya, seorang perempuan cantik, muslimah tanpa kerudung, yang beberapa waktu lalu ingin kabur dari rumah, ingin bunuh diri, namun terlanjur beli tiket liburan ke Bali untuk pekan depan. “Gebetan barunya ini katolik,” sambungnya.
“Ya tuhan,” kulemahkan suaraku, “kenapa sih orang-orang ini. Mereka seperti sengaja mendekati patah hati.”
“Kamu juga. Aku juga.”
“Bodoh sekali.”
“Kenapa kita begitu?”
Aku menatap matanya ketika sesuatu muncul di kepalaku. Ya, ya, “Mungkin pada akhirnya kita hanya butuh orang yang mengerti dan ada untuk saat ini, bukan untuk bertahun-tahun apalagi selamanya. Kita begitu butuh terselamatkan meski hanya untuk satu atau dua menit berikutnya.”
“Seburam apa pun kondisi yang menunggu di depan.”
“Seburam apa pun.”
Dia menciumi wajahku. “Terima kasih,” katanya, “dicintai olehmu membuatku lebih sanggup mencintai diriku sendiri.”