TEMU MAMA


NENEK belum bangun. Sudah jam 8 pagi. Aku lapar sekali.

Tepat hari ini, satu tahun kami tinggal rumah nenek di Sumedang. Bapak kena PHK lalu jadi ojek. Dia tetap di Tangeang, tidak ikut pulang karena katanya tidak cocok dengan suasana kampung. Mamah masuk ruang isolasi rumah sakit sejak seminggu lalu. Dia bilang akan kembali secepatnya dan aku percaya. Harusnya cuma dua minggu. Kutunggu dengan sabar meski tak banyak juga yang bisa dilakukan. Sekolah yang rencananya akan tatap muka akhirnya kembali online. Tahun ini aku akan lulus dan masuk kuliah—membayangkannya saja sudah membuatku mulas. Aku tak akan punya teman sama sekali. Berkenalan selalu melelahkan, apalagi kalau dilakukan secara virtual. Kamu harus mengetik banyak sekali, atau bicara banyak sekali, padahal tidak ada siapa-siapa di hadapanmu.

Sebetulnya tak banyak yang tejadi selama setahun ini, tapi aku merasa sangat lelah. Tiap pagi aku akan mendengar nenek mengomel di depan televisi, biasanya di pagi hari setelah selesai menyapu halaman, membuka gembok pagar, lalu membuat sarapan. Corona semakin parah karena ada varian Delta, katanya, itu karena orang India keras kepala, mirip orang Indonesia. Orang Madura dan Padang bahkan lebih parah dari orang India. Pemerintah sebetulnya mengurus apa sih, sudah genting begini tidak ada kebijakan apa-apa, cuma mengulangi lokdon abal-abal seperti tahun lalu. Itu oksigen sudah habis di mana-mana, orang mati kehabisan napas di rumah sakit. Kalau rumah sakit saja kehabisan, apalagi orang biasa yang isolasi mandiri. Sudah gawat begini, Jokowi cuma ngurus pariwisata. Semua hal dipajakin. Semua program diproyekin. Kalau uangnya tidak dikorupsi, negara ini bisa membiayai lokdon yang sungguh-sungguh. PDIP ini patai miskin yang cari uang dari rakyat.

Usia nenek sama dengan Susi Pujiastuti, mantan menteri Kelautan yang jadi idolanya. Dia sakit hati sekali waktu Bu Susi diganti. Nenek sering bilang, sekolah tidak harus tinggi, tapi pendidikan harus tinggi. Ibu Puji itu contoh yang bagus. Sejak mama masuk RS, nenek lebih sering mematikan televisi lalu mengomel kepada ayam-ayamnya di halaman belakang, apalagi kalau salah satu ayam itu eek di teras. Dia seperti berinteraksi dengan anak-anaknya sendiri, dan di lain waktu dengan mudah menyeret salah satu ayam itu untuk disembelih. Aku sering merasa kesepian melihatnya begitu. Aku ingin punya ayam juga. Mau kuberi nama, kurawat, dan tidak akan kusembelih sampai kapan pun. Kurasa itu hubungan yang lebih menyehatkan ketimbang dengan beita politik atau sinetron.

Di rumah ini ada kucing bernama Hasan tapi dia pendiam sekali. Dia tidak bisa diajak bicara, dia dingin-dingin saja sekalipun dipatahkan ekorrrrrrrnya.

Sialan, huruf R di keyboard ini mulai rusak.

Tolong jangan usak. Sudah tak ada uang. Atau cukup R saja, tidak apa, tapi jangan yang lain. Aku bisa hidup tanpa R. Tapi sulit bagiku hidup tanpa M. Tak bisa kubayangkan. Tak boleh.

Aku mau goreng telur dulu. Nenek sepertinya kecapekan makanya belum juga bangun. Sebenta lagi kulanjutkan catatan ini.

SAAT membuat saapan, aku sempat tercenung di hadapan tumpukan telur. Ada banyak bahan makanan yang diberikan Uwa. Makan siang dan makan malam selalu datang dalam bentuk siap santap. Terkadang rasanya enak sekali, tapi seringnya biasa saja, bahkan hambar. Corona mengubah banyak hal. Mimpiku untuk kuliah di UI perlahan harus kutepikan. Keinginanku untuk liburan ke Jogja, Malang, dan Bali. Semua uang tabunganku sudah ludes. Lidahku kehilangan nafsu makan. Soal lidah ini mungkin ada kaitannya dengan hidungku yang berganti selera. Sebelum kena Corona, aku amat suka aroma bawang merah goreng. Aku suka sekali aroma bawang meah dalam sepiring nasi goreng buatan mama. Sekarang aroma itu lebih dekat dengan sesuatu yang busuk.

            Tapi akan tetap kumakan jika Mama sekaang pulang lalu memasak untukku. Aku tak bisa bohong, aku khawatir sekali. Mama memang lebih beuntung kaena dia masih kebagian oksigen sampai hari ini. Tapi sampai kapan? Siapa pun tak bisa tenang bila menyadai nyawa ibunya bergantung pada keberuntungan sepeti ini. Satu atau dua jam kemudian oksigen itu bisa habis dan sudah tak ada tabung pengganti. Kau takkan mau ibumu berada di posisi itu. Jangan bayangkan. Jangan bayangkan. Simulasi yang terjadi dalam kepalamu tidak akan mendekati apa yang sebetulnya kualami. Apakah seseram itu? Apakah tidak ada sisi baik yang bisa jadi hibuan?

            Ternyata sudah jam 2 malam.

Nenek belum bangun juga.

AKU ingin mandi, memakai seagam, lalu sarapan.

            Aku akan mandi, memakai seragam, lalu saapan.

            Aku ingin bangunkan nenek. Lalu berangkat sekolah.

            Aku akan bangunkan nenek—atau nanti saja?

            Nenek pasti sudah lelah sekali. Aku tak mau mengganggunya. Tak boleh.

BAPAK kasih kabar, dia tak akan pulang akhi pekan ini. Tangeang sudah sepeti Jakarrrta, bukan lagi merrrrah, melainkan ungu. Dan lagi aku sudah positif begini. Tak seorang pun boleh masuk ke rumah ini, apalagi keramaian seperti ketika Mamah dijemput ambulan. Orrang-oang begeombol di paga umah, menahan segala ekspresi mereka seperti menyaksikan kecelakaan lalulintas yang korbannya mati dengan identitas yang belum jelas. Polisi sempat berusaha mengusir mereka, tak ada hasilnya. Aku bisa paham kenapa keluargaku jadi tontonan. Corona belum banyak muncul di kampung ini, atau mungkin belum banyak diakui. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Mamah pun termasuk orang yang tidak bisa wok from home, tidak bisa betul-betul patuh pada prokes. Dia karyawan pabik sepatu di Cikarang. Saat satu karyawan positif Corona, manajemen sempat menawakan operasional untuk disetop sementara. Tapi pemilik pabrik bilang kalau disetop begitu sekalian saja PHK semua. Mamah harus tetap masuk. Dia dan 236 karyawan lain dinyatakan positif.

            Siapa yang harus kumarahi?

            Aku punya banyak alasan untuk mengomeli Pak Jokowi, tapi buat apa. Maksudku, apakah itu akan ada gunanya? Sejak lahir sampai hari ini, aku tak pernah merasa bisa meminta tolong kepada negara, atau pejabat negara begitu. Kurasa mereka berada dalam kehidupan mereka sendiri, sesuatu yang amat berbeda dengan apa yang kujalani, dengan apa yang sebagian besar orang jalani. Amat sukar untuk bicara kepada mereka, apalagi untuk didengar, sekalipun itu tentang hilangnya orang-oang terdekatmu. Aku tak tahu, sampai di kalimat ini, sepertinya aku ingin tidur saja.

            Sudah jam 3 sore sekaang. Aku harusnya membangunkan nenek.

            Aku ingin. Tapi tidak. Lebih baik aku diam saja di kamarku sampai lima hari berikutnya. Sudah kubawa sekardus mi instan dan satu galon air dan makanan lain. Aku akan jumpa lagi dengan Mamah. Kita akan kembali ke Tangerang. Itu saja harapanku sekarang. Sedehana sekali, kan? Aku cuma ingin kumpul lagi dengan Bapak, karena sejujurnya aku pun tak cocok dengan suasana kampung. Aku akan bilang, ayo Bapak, kita balik lagi ke kos-kosan kecil kita yang dulu, yang setahun lalu. Dari situ kita ulang lagi semuanya.

Omeo Telanjang dan Berlari


/1/

Gelas itu terjatuh dan dengan tolol Omeo menginjak belingnya. Terpincang-pincang ia kembali ke kamar, menyembunyikan kumpulan beling dengan bercak darah itu di bawah ranjang. Dia sempat memotret dan menguploadnya di Twitter dengan memberi keterangan singkat: aku akan mati karena ini.

Diceknya pekarangan rumah dari jendela lantai dua itu. Mama baru akan pulang satu jam lagi jika tidak lembur, dan Papa setelahnya, dengan aroma berbeda, selalu lebih malam dari siapa pun. Dari jam 5 pagi sampai pukul 8 malam, rumah ini sehening kuburan, dan akan menjadi furgatori yang ramai selepas pukul delapan malam. Terkadang kedua orangtuanya terlalu lelah sehingga ramai itu disimpan untuk kegiatan akhir pekan.

Ponselnya bergetar banyak kali. Dia mematikannya.

Tiga menit kemudian dia nyalakan kembali.

Ada delapan balasan di twit itu. (1)Are u okay? (2)Kamu di mana sekarang? (3)Cek DM. (4)Ayo mabu. (5)Mau mati saja berisik. (6)Lanjutkan, alay. (7)Live IG dong. Yang kedelapan adalah balasan dari seseorang yang dia mute. Dia berhasil menahan diri tidak membuka itu.

Mono meneleponnya, menanyakan posisi, sedang apa, apa yang terjadi. “Aku takut sekali, tapi malas sembunyi,” kata Omeo. “Untungnya tadi siang aku sudah potong rambut. Rambutku sangat pendek sekarang. Seperti lelaki tapi lelaki yang tidak kubenci.”

“Rambutmu sudah sangat pendek. Dipotong seperti apa lagi?”

“Poninya kuhabiskan.”

“Kau tidak sedang menyayat tanganmu lagi kan?”

“Tidak—atau mungkin belum. Aku sedang capek sekali, Mon. Tulang-tulangku rasanya jadi cacing semua.”

“Tidur di tempatku saja. Perlu kujemput di tempat biasa?”

“Nanti saja kalau ketahuan.”

“Ketahuan apa?”

“Nanti.”

Sekelebat kemudian dia membatin, astaga, kenapa tidak kubiarkan saja beling-beling itu di lantai, atau kupecahkan juga beberapa gelas lain, lalu kubilang ke Mama, ada kucing liar yang mengacaukan bufet. Tapi bagaimana dengan tumpahan cokelatnya? Tidak perlu dipikirkan, itu sudah dibersihkan. Masih ada waktu untuk menata ulang dapur. Obrolan dengan Mono diakhiri sepihak. Omeo gegas berjingkat, membawa beling itu kembali ke dapur.

Bunyi langkahnya memenuhi rumah. Dia tak sadar kaki kirinya menyisakan jejak darah yang merembes dari balutan kasa yang tipis. Tidak ada siapa lagi di sana. Beling-beling itu disusun sekacau mungkin di lantai. Dua gelas lain diambil dari bufet, dia pecahkan, beserta sebuah piring warisan keluarga—ada gambar burung kasuari di tengah piring itu. Semua berantakan dan sempurna. Lalu bagaimana dengan luka di kakinya? Tiga puluh menit tersisa sebelum Mama pulang.

Pekarangan masih sepi. Seseorang kembali menelepon, berkali-kali. Dia matikan ponselnya kali ini sambil berdecak. Dua menit kemudian ponsel itu kembali dinyalakan. Ada puluhan retweet dan belasan balasan di twitnya. Orang mengira dia akan bunuh diri. Dia pernah berpikir begitu tapi belum punya keberanian untuk betul-betul melakukannya. Sisa-sisa pelajaran agama masih menempel di kepalanya, tentang bagaimana jika ternyata tuhan itu nyata, bagaimana jika surga juga nyata dan dia harus masuk ke sana, menyaksikan para lelaki mesum yang meniduri puluhan bidadari.

Kenapa tidak kubereskan kekacauan di dapur, pikirnya. Jika dapur berantakan begitu, Mama akan punya alasan untuk menghantam kepalanya. Mama akan bilang: anak anjing, kerjamu cuma online saja, tiduran terus, tolol.

Dia harus membereskan beling-beling itu. Dia kembali ke dapur, mengumpulkan beling-beling itu dengan sapu, lalu menaruhnya di wastafel supaya Mama sempat lihat—mungkin ini akan membuatnya tidak terlalu buruk. Sisa dua puluh menit sebelum perempuan diabetes, hipertensi, dan tak lama lagi mati itu tiba di rumah. Omeo kembali ke dapur. Dia memotret kekacauan itu sebagai bukti bahwa seekor kucing pernah ada di sana.

Dingin kemarau menyusup via jendela. Senyap sekali, lebih dari biasa, seolah seorang malaikat baru saja dimakamkan sore tadi.

Rumah itu agak jauh dari tetangga. Sengaja begitu biar penghuninya leluasa menggonggong. Tapi Omeo tak pernah menggonggong. Dia takut sesuatu membalas suaranya. Dia bahkan sedikit bicara. Kata-kata keluar dari mulutnya ketika segala sesuatunya sudah terlambat lantas dia akan menyesali kata-kata itu lebih dari sebelumnya.

Omeo lupa sempat mematikan ponsel. Satu jam berlalu. Dia sempat tertidur dan mimpi buruk. Mama belum pulang. Angin membelit kamar. Dia juga lupa mematikan AC. Dia berpikir untuk mencari seekor kucing lalu membunuhnya lalu memotretnya. Itu akan jadi bukti yang lebih kuat. Ponsel dihidupkan.

Cuma gelas, Omeo, kenapa harus serepot ini? Cuma piring. Ada banyak perabot yang bisa pecah di dunia ini. Tidak ada yang spesial dari keduanya.

Hampir tengah malah, belum satu pun pulang. Dua ekor kucing berkelahi di dalam pot kembang. Dia menghapus foto beling yang sempat diambilnya. Di dapur, dia masukkan seluruh beling itu ke dalam keranjang sampah. Sendok, garpu, pisau, kopi, garam, gula, dan hal-hal kecil yang bisa diraih di sana ikut masuk ke dalam keranjang. Dia membawa itu ke pekarangan, ke tempat sampah yang lebih besar, lalu membakarnya bersama gundukan plastik itu. Dia tak mungkin tidur lagi. Sembari menunggu pagi, dia mengingat-ingat benda apa saja yang bisa menjaga api tetap menyala. Satu per satu dia membakarnya.

 

/2/

Gulung layarnya! Ome! Ome! Gulung!

Layarnya hilang.

Keduanya ditelan gelombang yang berdiri puluhan meter.

Mono terbangun di dalam mimpi yang lebih dalam. Tidak ada Ome di sana. Gelap dan lembap. Dia tak bisa melihat dirinya sendiri. Dia tak bisa mendengar dirinya sendiri. Dengan kaki Mono berusaha menendang sesuatu. Dengan tangan dia berusaha meraih yang lain. Tapi tak ada yang jatuh, tak ada yang berbunyi. Serakan beling muncul di hadapannya. Dia berusaha meraih itu. Satu langkah dia maju, satu langkah beling itu menjauh. Tangannya memanjang, terus memanjang berusaha sampai, tapi berakhir dengan membelit lehernya sendiri.

Mono terbangun. Segera dia hubungi Ome, menanyakan kondisinya.

“Aku sedang buat api unggun,” kata Ome. “Dari dulu aku ingin kemah tapi kamu tidak pernah ajak.”

“Kamu harus hapus twitmu itu. Ramai sekali orang.”

“Kamu tidak senang orang lain peduli padaku?”

“Bukan begitu. Perhatian di medsos begitu malah bikin kamu capek. Kamu harus bilang terima kasih kepada mereka. Kamu harus jelaskan bahwa kamu baik-baik saja. Kamu harus memastikan mereka dihargai. Dan kamu pasti sadar, manusia-manusia medsos ini licik. Mereka itu jenis manusia yang sibuk merekam seseorang yang berusaha melompat dari gedung lalu bersimpati ketika akhirnya orang itu mati.”

“Aku tidak baik-baik saja, Mon.”

“Iya, aku tahu. Tapi tidak perlu mengumbar itu ke orang yang tak mungkin meraihmu. Mereka itu badut, Ome.”

“Aku tidak boleh senang?”

“Aku ke sana sekarang.”

Mono meraih celana kargonya. Tiga lapis baju dia pakai—sebuah kaus, lalu kaus lagi yang berlengan panjang, kemudian jaket gunung. Koreknya tertinggal di atas laptop yang masih terbuka.

Motor matik dengan mesin kendur itu melaju lancar di jalan lengang. Rem belakangnya sudah tidak berguna. Di layar G-Shock terlihat angka 02:16 yang terus berdetak. Dari jauh lalu perlahan hilang, terdengar orang islam yang bangun terlalu dini dan mulai membunyikan pelantang. Lampu-lampu kuning berlalu seperti kilasan peluru. Seekor kucing menyeberang tepat saat Mono melintas. Mereka hampir bertubrukan. Kucing lain berjalan santai di tengah jalan. Bulan semakin surut ke Barat.

 

/3/

Dua hari sebelumnya, Omeo terbangun dari tidur sore dengan perut mulas. Pukul tujuh malam kala itu. Usai berak, dia bercermin di toilet, membetulkan rambut bondolnya. Matanya masih sedikit bengkak dan becek karena pukulan tadi pagi. Tapi dia merasa sangat cantik dan itu sesuatu yang langka. Dia bersihkan wajahnya, dia sikat giginya, dia pulas pipinya, dia segarkan bibirnya, lalu dipilihnya pakaian berwarna cerah.

Dia tak lagi pergi ke kafe kecil dengan kaca-kaca lebar yang jernih, Logos Coffee, di jalan Ahmad Yani itu. Tiga bulan dia berkunjung ke sana dan tak sekali pun bicara dengan orang. Dia selalu ambil kursi paling sudut, memasang lagu-lagu Soko di kupingnya, menyaksikan orang lain berbincang dan tertawa, dan terkadang menunggu mereka saling menampar. Ketenangan itu berakhir saat seekor biawak mengirim kopi dari Logos ke rumahnya dan di gelas kopi itu tertulis: kamu cantik saat senyum. Boleh kenalan?

Biawak kontol. Maaf, ini harus dikatakan.

Dia berputar-putar di mall, membiarkan semua orang menyaksikan wajahnya. Tidak semua orang memperhatikannya, tapi ada saja satu atau dua yang berlama-lama, menyorot ujung rambut hingga kelingking kakinya yang mengintip dari sepatu yang berlubang. Di lantai dasar mall sedang ada tari poco-poco berjamaah. Sekumpulan ibu-ibu gemuk menggerakkan badan mereka dengan kaku dan merasa lebih seksi setelahnya. Omeo melihat-lihat baju, sepatu, dan toko buku. Pukul sembilan malam dia pulang.

Di rumah ada keributan lainnya. Papa mungkin merugi di pasar saham atau kalah judi atau kena tipu dan dia menambah kerugian itu dengan membanting jam tangannya. Hari itu pasti lelaki mesum itu kalah banyak. Dan makin banyak saja utangnya. Tak lama lagi Mama bakal kembali minta cerai. Omeo meringkus diri ke kamar.

Lewat tengah malam, saat dia sudah tertidur, lampu kamar belum sempat dimatikan, biawak itu masuk dan mematikan lampu, lalu merangkul Omeo dari belakang. Si biawak belum mandi dan mulutnya bau bekicot mati. Omeo merasakan kontol biawak itu mengeras di pantatnya. Sebuah tangan meraih tangan kanannya, lalu menaruhnya di kontol itu. Biawak itu sudah melakukan ini sejak Omeo masih lima tahun. Kalau Mama sedang tak di rumah, dia akan memasukkan kontolnya ke sana. Dia akan menyentuh Omeo dengan berbagai cara sambil berbisik Ome kamu cantik, Ome kamu anak baik, sampai akhirnya bisa tertidur dengan pulas.

Paginya Omeo masih merasa cantik. Dan dia benci itu.

Dia memotong poninya sendiri dengan berantakan, tersisa sedikit saja, seperti ekor ayam yang dipukuli. Dia merasa lebih baik.

“Mono,” suatu ketika dia pernah berkata, “kamu itu baik sekali meskipun uangmu tidak banyak.” Mereka mabuk soju campur Yakult. Entah sudah berapa botol. Sal Priadi mengudara dari speaker kamar Mono, berulang-ulang sampai kusut di telinga. “Tapi tidak apa-apa kan kalau kita tidak pacaran? Tidak harus pacaran kan untuk berkorban? Kalau aku sampai pacaran denganmu, rambutku akan botak. Kamu tahu kan kenapa?”

Mono terkekeh. “Saat mabuk pun kamu masih berlapis. Aku penasaran ada apa di dirimu yang paling dalam.”

“Yang jelas tidak ada kamu. Juga tidak ada aku.” Omeo memeluk keras-keras, seperti marah, lalu membaui rambut lelaki itu dari belakang, meniup-niup lubang kupingnya, lalu mereka jatuh meringkuk. “Tidak ada yang bisa tinggal di dalam sana. Tidak akan pernah ada.”

“Bisa tidak kamu biasa saja?”

“Apanya?”

“Kamu selalu membuat semuanya dramatis.”

“Bukan salahku. Mungkin hidupmu yang biasa-biasa saja.”

“Okay.”

“Tidak semua kuceritakan, dan ada lebih banyak yang lebih sialan.”

“Kenapa disimpan sendiri?”

“Kenapa harus diceritakan?”

“Apa aku tidak cukup dekat?”

“Bukan soal itu. Sudah ya, jangan bertanya lagi. Aku ingin senang-senang saja denganmu. Boleh kan?”

“Apa betul-betul senang?”

“Kalau masih bertanya lagi, aku pulang.”

Mereka terkapar. Saat terbangun, Omeo diselimuti perasaan bahwa dirinya sangat dicintai tetapi di saat yang sama merasa sangat buruk. Ada banyak sekali kesedihan tapi tak ada yang bisa dibicarakan.

 

/4/

Mono tiba di rumah kecil dua lantai itu setengah jam kemudian.

Ome sedang menatap api dengan mata hambar. Di sampingnya buku-buku bertumpuk. Satu per satu buku itu dilempar ke dalam api. Aroma kertas dan kain terbakar bergumpal di antara daun-daun pohon matoa. Mono menghampirinya dengan sebisa mungkin memberi respons yang wajar.

“Kenapa?”

“Bantu aku cari kos-kosan ya. Aku mau hidup mandiri.”

“Akhirnya kamu pergi dari rumah ini. Tapi kenapa buku-buku itu dibakar?” Di tepi api, ada beberapa buku yang belum terbakar sempurna, salah satunya kumpulan puisi Sylvia Plath, penulis kesukaan Ome. “Apa tidak akan dibaca lagi?”

“Nanti bisa beli dengan uang sendiri.”

“Mereka belum pulang?”

“Mungkin si diabets memergoki biawak itu main perempuan, lalu mereka saling membunuh di sana. Tapi mungkin biawak itu membunuhnya lebih dulu, lalu dia membunuh dirinya sendiri.”

“Tidak ada kabar?”

“Tidak pernah ada.”

“Masuk yuk. Di sini dingin.”

“Apinya bisa kubuat lebih besar kalau kamu kedinginan. Sofa di ruang tengah sudah jelek busanya.”

Mereka membatu sejenak.

“Lapar tidak?”

“Aku ingin minum.”

“Ya, sudah, kita makan dulu. Kita jalan sekalian cari minum.”

Ome melepas kaus, lalu melempar itu ke dalam api. Dia melepas celana lalu melemparnya ke dalam api. Tersisa beha dan kancut. “Aku pinjam jaketmu,” katanya.

Mono menyerahkan jaket yang tampak kebesaran di tubuh perempuan berdada kecil itu. “Kamu mau pakai celanaku juga? Aku masih pakai kolor bola.”

Di atas motor, Ome merengkuh punggung lelaki yang suka menulis puisi tapi tak mau disebut penyair itu. Mereka mampir di warung kecil, membeli nasi dengan lauk telur, dan nasi dengan lauk ikan kembung. Pelantang masjid makin ramai meneriaki orang-orang agar beribadah, sepagi itu, tapi orang-orang tidak lagi mengingat tuhan dengan rasa takut maupun kasih. Semua sibuk berjibaku menuju kantor sebelum kemacetan meraih mereka.

Sesaat sebelum tiba di kosan, Ome sempat bergumam, “Aku sudah tahu apa yang kumau. Aku sudah tahu apa yang kumau. Aku sudah tahu.”

“Apa?”

“Aku mau jadi seleb IG,” kata Ome. “Lumayan kalau bisa dapat endorse.”

“Oke, kudukung.”

“Aku juga mau menulis buku.”

“Itu bagus.”

“Aku mau lanjut kuliah ke luar negeri.”

“Semakin keren.”

“Aku mau Vodka.”

“Kerennya unlimited. Tapi aku sedang tidak ada uang.”

“Kalau arak?”

“Oke, kubelikan, tapi dengan syarat: jangan terus-terusan lari. Kamu harus dekat denganku setidaknya untuk satu tahun ke depan.”

“Aku tidak boleh senang?”

“Banyak yang sayang kamu, Ome, seandainya kamu lebih bisa menerima.”

Malam Rabu di Kamar 701


Semut-semut berkarbu merayap di tepi Kali Item, meraung satu sama lain. Dahan mahoni bergoyang-goyang di pekarangan hotel, bayangannya seolah membantu para tamu untuk parkir teratur. Beberapa tahun kemudian, dia mungkin tumbang dan membantu para tamu itu mengklaim asuransi.

Dari kaca bening kamar 701, kuperhatikan lampu jalan jatuh ke muka kali, memercik seperti gerimis di atas tumpahan oli, dan aku mulai bicara kepadanya. Oy, Item, kubilang, sejak kapan kau menjadi pendiam, hitam pula? Dan kenapa? Apa kau masih ada hubungan darah dengan Laut Hitam? Tahu tidak, bagiku kau lebih cocok disebut kubangan—kubangan yang sangat panjang. Tidak ada yang bergerak, bahkan buih dan telur nyamuk, diam mengunci diri di permukaanmu. Kebetulan saja kau diberi nama “kali”. Si kali cuma diam. Oh, yaya, benar juga, kubilang, mungkin kau itu kali yang hanya bekerja di musim hujan, itu pun untuk menebar teror kepada warga Jakarta. Aku suka kali sepertimu.

Aku tidak bisa tidur malam ini. Jantungku girang betul karena besok perempuan itu akan datang. Dia sudah tahu hotel tempatku menginap, kubilang langsung naik saja, karena aku tidak suka jakarta dan aku tidak mau keluar kamar, bahkan sekadar untuk turun ke lobi. Tapi kalimat terakhir itu tidak kukatakan. Besok kami akan makan di auce. Entah itu restoran apa. Katanya lumayan mahal, dan dia sempat membatalkan rencana ini karena gajinya belum juga turun. Aku memaksa, kubilang ayo lakukan, aku ada uang, aku senang bisa memakai uangku untuk sesuatu yang kusayang.

Akan kuceritakan tentang gajinya, meski kalian pasti sedih.

Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya masih kuliah. Kedua orang tuanya menggeluti usaha rumahan yang penghasilannya tidak seberapa. Dia bekerja mulai setengah enam pagi, menaiki KRL yang selalu kehabisan kursi, lalu pulang pukul tujuh atau delapan malam, lagi-lagi melalui KRL yang kali ini berisi orang-orang bau terasi, di sebuah perusahaan yang hampir semua pekerjanya beretnis Cina sementara dia seorang Sinaga. Gajinya 7 juta rupiah. Dari besaran itu, dia menikmati 11%-nya saja, dan sisanya, yang lebih besar, untuk keluarga. Gajinya dipakai untuk renovasi rumah orangtuanya, untuk biaya les dan kuliah adik, dan lain-lain, sampai-sampai dia pernah, di suatu malam menangis kepadaku sambil menunjukkan foto dress seharga 90 ribu, katanya, “Aku ingin sekali baju itu. Kenapa aku tidak bisa memenuhi keinginanku sendiri? Kenapa aku tidak punya uang untuk itu?”

Ada sesuatu yang salah, batinku, ketika dia bekerja selama dua tahun, bahkan dengan gaji yang pernah dua kali lipat dari itu, tapi tak sedikitpun dia punya tabungan. Ada yang tidak bisa kumengerti: dia sangat menghormati kedua orangtuanya, bertahan bersama mereka, di tengah tekanan semacam itu, dan ayahnya pernah mencibir, “Puisi-puisimu itu tahi ayam! Makan sana dari puisi-puisimu!”

Sebagai orang tua kau harusnya tidak begitu. Dimaknai dari sisi mana pun, itu tetap salah. Sangat salah. Dan kau layak mendapat bogem di mukamu.

Kubilang, kalau aku jadi kamu, aku mungkin sudah memisahkan diri dari orangtuaku. Aku tidak mungkin tahan. Sayangku akan tetap kepada mereka, tapi mungkin caraku akan berbeda.

Dia sangat mencintai puisi. Itulah satu-satunya tempat sembunyi. Bila kau main ke akun Instagramnya, kau bakal menemukan puluhan, bahkan ratusan puisi yang menjerit, menangis, dan tertawa untuk dirinya sendiri. Dalam salah satu puisinya, yang berlatar pintu KRL yang sedang bergerak cepat, dengan tone kuning senja yang pekat, dia bilang:

dia bertanya padaku,

‘bagaimana bisa menjadi sekuat itu?’

kubilang, ‘hidup tanpa pilihan.’

Astaga, dulu aku pernah bercanda: di jakarta orang melihat begitu banyak pilihan, tapi orang akan selalu memilih secara terpaksa. Jangan-jangan itu benar.

Kunaikkan suhu AC yang mulai keterlaluan. Kurebahkan tubuhku di kasur. Ponselku bergetar beberapa kali tapi biar. Aku sedang ingin bicara dengan diri sendiri dan tak ingin diganggu. Agar adegan ini lebih sinematik, kuputar New York, New York yang dinyanyikan Carey Mulighan. Lampu-lampu perlahan menjadi kunang-kunangnya Kayyam. Lampu-lampu pada dua menara sinyal menempias di mataku yang mulai tebal. Kali Item bergerak perlahan dan tenang, seperti Danube yang membelah Wina—yaya, yang ini berlebihan.

Jam 8.13 pagi seseorang mengetuk pintu. Dia berdiri di sana, dengan lipstik merahnya. Kausnya hitam berlengan panjang. Dia lebih cantik dengan celana jins seperti itu.

Obrolan kecil terjadi. Dia terlentang. Enak sekali jam segini masih bisa rebahan, katanya. Sesekali kupeluk lututnya yang terlipat. Sesekali dia memeluk tanganku yang tergeletak. Aku tidak tahu kenapa kami belum juga saling mencium. Kunyalakan lagi New York, New York. Di tengah lagu, dia memelukku lebih dalam, lalu menangis. Selama lima menit dia begitu, kubiarkan mengelap airmata dengan kausku, kuusap punggungnya pelan, kubilang, tidak apa, tidak apa, apa pun itu, tidak apa.

“Aku ingin jadi buah-buahan saja, aku lelah sekali,” katanya.

“Ya, ya.”

“Mau jadi buah apa?”

“Aku?”

“Aku mau jadi melon.”

“Aku salak.”

“Ganti lagunya,” katanya.

Let Me, Let Me, Let Me Get What I Want berputar dalam kamar. Kuusap pipinya yang basah. Kubilang, nanti kita naik Gocar saja ya, jangan busway. Mahal, katanya. Tidak apa, kubilang, aku sudah bekerja keras untuk mendapatkan uang ini, dan aku ingin memakainya dengan ringan.

“Can I kiss you?”

Dia mengangguk.

Rileks, kubilang, kendurkan badanmu.

Dia punya trauma serius soal seks. Kalau kuceritakan, kalian pasti ikut berduka. Dan kalau tidak kuceritakan, kisah ini bakal tidak lengkap. Aku sebetulnya bosan menceritakan kesedihan, tapi bagaimanalah lagi, hidup memang berkutat di sana.

Saat kuliah, dia pernah hampir diperkosa—aku tidak tahu apakah penggunaan kata “hampir” di sini sudah tepat. Hari malam kala itu, dia baru saja menyelesaikan latihan paduan suara. Dia dan grup paduan itu akan berangkat ke Vienna bulan depan. Pada masa itu, dia juga seorang atlet renang muda yang punya prospek bagus. “Dulu, jarak 50 meter bisa kutempuh dengan 38 detik,” katanya, “tapi sekarang 3 menit pun sudah cukup bagus.” Tubuhnya diseret oleh pemabuk, di sebuah gang menuju kamar kos, ke sudut aspal yang tak terpantau lampu jalan. Kakinya dikangkang. Kedua tangannya dicengkram. Lelaki itu melepas kaus. Entah apa saja yang sudah diraihnya dengan tangannya yang kasar dan mulutnya yang bau bangkai. Perempuanku ini tidak bisa menjerit. Dalam sekian waktu dia hanya bisa menoleh ke sana-kemari berharap seseorang melintas di sana. Seseorang melihat kejadian itu namun lebih memilih sembunyi ke dalam rumahnya. Sayangnya ini bukan sebuah film. Tak seorang pun datang. Dia mengumpulkan tenaga, meledakkannya dalam sekali hentak, dan berhasil memberontak. Dia lari seperti anak gajah linglung. Sejak malam itu semuanya jadi berbeda. Dia gagal menuju Vienna. Dia gagal menjadi atlet renang tingkat provinsi. Dia gagal ini, dia gagal lainnya. Selama bertahun-tahun dia tak mampu melihat lelaki yang telanjang dada.

Sentuhanku kepadanya adalah sentuhan yang berisi kegentingan. Aku tidak tahu titik-titik rawan pada dirinya dan bisa saja kusentuh itu tanpa sengaja. Kuciumi pipinya, hidungnya, matanya, keningnya, kubilang betapa aku menyayanginya, I love you berpuluh kali, I love you dikali seribu.

“Can I give you a hikki?”

“Apa itu?”

“Aku bakal menciumi lehermu. Mungkin akan ada gigitan kecil juga.”

“Harus ya bertanya dulu?”

“Aku mau memastikan kamu siap.”

Dia mengangguk.

“Kamu tidak suka pijit ya?”

“Kadang dipijit adik. Kenapa?”

“Badanmu kaku sekali.” Kutatap matanya sebentar, “Itu bukan masalah sih, tapi kamu akan lebih senang kalau bisa lentur. Kamu kurang rileks.” Aku terdiam lagi. “Tapi mungkin solusinya bukan pijit, tapi keluar dari Jakarta. Jakarta ini toksik.”

Kembali kuciumi pipinya, keningnya, matanya, hidungnya, dan bibirnya, lalu lehernya. Kusentuh belakang kepalanya. Kuraih lengan satunya. Sesekali kubilang  aku ingin kamu bahagia. Kubilang orang harus menyayangi diri sendiri. Orang harus jujur tentang apa yang dia mau. Dan aku berulang-ulang berkata pada diriku sendiri, jangan lukai perempuan ini, jangan jadi lelaki brengsek, dengar apa yang dia mau, dengar semua ceritanya, temani dia seperti kau menemani dirimu sendiri saat sedang lelah-lelahnya.

Dia menggores-gores jarinya di keningku. “Coba tebak aku gambar apa,” katanya.

Aku pura-pura berpikir. “Oh, simbol hati ya?”

Dia mengangguk gesit. Wajahnya berbinar seperti anak lelaki bermain pistol air. “Kamu pintar sekali. Kamu lelaki paling pintar yang pernah dekat denganku. Coba tebak lagi ya,” katanya. Ujung telunjuknya meliuk lagi di keningku.

Kali ini aku sulit membacanya.

“Nyerah?”

“Sebentar. Ular ya?”

“Bukan.”

“Api?”

“Bukan.”

“Hmmm, tambang?”

“Nyerah.”

“Itu taik.”

“Anjirlah.”

Tengah hari kami keluar. Di auce, yang ternyata adalah singkatan dari All You Can Eat, pelayan menawarkan potongan harga dengan Ovo atau dengan menginstall aplikasi tertentu. Tidak usah deh, kubilang, itu repot sekali, aku cuma ingin makan. Dia lagi-lagi menegurku. Kamu boros sekali, katanya. Kita tidak setiap hari bertemu, kataku, dan aku punya reward semacam ini buat diriku sendiri: karena aku tidak merokok, karena aku olahraga dengan youtube, bukan nge-gym, karena aku tinggal di kantor, bukan menyewa kos sendiri, aku menyediakan uang sebesar 1.000.000 rupiah per bulan untuk bersenang-senang. Bisa kupakai untuk mentraktir kawan-kawanku makan, karaoke, memberi tip besar untuk abang gojek, atau menyewa hotel yang agak mahal ketika ke luar kota. Ini hadiah untuk diriku yang mau berhemat.

“Aneh sekali,” katanya.

Dia mengambil potongan cumi dan bacon, aku mengambil cacahan ayam dan irisan sapi. Aku tidak yakin bisa makan banyak dan memang menghindari itu. Kepalaku jadi bodoh saat kekenyangan lalu aku akan kesal pada diri sendiri. Di meja makan, dia menata daging-daging di atas panggangan. Aroma bakaran segera merasuk ke hidung. Astaga aku sangat suka daging. Dan aku lebih suka wajahnya ketika mengunyah daging. Aku tidak boleh jadi orang miskin, batinku, aku harus punya uang untuk makan daging bersama orang-orang yang kusayang.

Coba kulanjutkan obrolan kami yang tertahan. “Aku sering tidak tahu uangku harus kupakai apa. Aku bukan orang yang senang jajan. Makanku sedikit. Pacar juga tidak ada. Jalan-jalanku cuma ke gunung atau pantai. Tapi seperti sekarang ini, aku senang melihat wajah orang yang kutraktir makan. Uang yang kupunya jadi terasa ada nilainya.”

“Ditabung saja. Kamu beruntung lho tinggal di Jogja. Anak-anak muda Jakarta sulit menabung. Tuntutan hidup mereka terlalu tinggi.”

“Anak muda Jogja malah tidak punya kesadaran soal menabung.”

“Uang mereka habis untuk apa?”

“Kopi dan senja dong.” Aku menahan diri. “Tidak lucu ya?”

“Garing banget. Lebih garing dari piring.”

“Aku ada rencana mau buka deposito atau reksadana.”

“Aku sendiri mau buka warung pecel lele. Buat sampingan saja.”

“Nah kan, anak Jakarta mikirnya sudah invest, bukan lagi nabung.”

Kali ini dia tertawa.

“Ya, ya, lele selalu prospektif.” Aku menahan daya kritisku. Membuka warung bukan perkara yang bisa dijadikan sampingan. Jikapun kau buka warungmu cuma di malam hari, siang harinya kau bakal sibuk mengurus ini itu. Tapi ini akan kukatakan lain waktu, mungkin saat kami berpelukan lagi, dan akan kusarankan dia untuk berjualan pakaian saja di medsos, atau menjadi reseller produk jadi. Itu usaha yang lebih pas sebagai sampingan, dan tidak terlalu beresiko kalaupun harus mempekerjakan orang lain sejak awal.

“Aku senang sekali,” katanya. “Ini pertama kalinya aku kencan di auce.”

“Aku juga senang kamu bisa jujur.”

Di mobil menuju hotel, dia tampak gelisah, yang kemudian kutahu karena menahan berak. Dia bisa makan 5 kali sehari dan berak 6 kali sehari. Dia juga mandi sebanyak 3 atau 4 kali dalam sehari. Kubilang, ¾ hidupmu dihabiskan untuk memesan makanan, melamun di toilet, dan nyanyi di kamar mandi. Ya, bukan cara yang terlalu buruk untuk hidup. Kutepuk-tepuk pahanya, kurabai lututnya, sampai dia kesal. “Jangan begitu,” dia bilang, setelah menyebut namaku dengan nada tinggi, “nanti kalau aku berak di lampu merah kamu mau tanggung jawab?”

Sampai di kamar, dia bergegas ke toilet, sekitar 2 menit saja, lalu keluar dengan wajah lebih cerah, tapi kemudian dia bilang tidak jadi berak. Beraknya tidak mau keluar. Aku tidak paham bagaimana perutnya bekerja. Perutku pun penuh sekali, dan aku tahu besok pagi pasti kukeluarkan semua. Kami saling memeluk lagi dengan perut yang bulat.

Kali Item tampak buruk rupa di siang hari.

Bunga Matahari dari Natania Karin dkk. berputar-putar dalam kamar. Coba perhatikan bunyi gitarnya saja. Coba perhatikan. Aku ingin memeluk gitarisnya.

Dia memindah-mindah saluran televisi. Ingin cari drama korea, katanya. Sampai akhirnya dia menyerah dan memilih menonton berang-berang mandi di NatGeo Wild.  Aku jadi teringat buku yang kubawa dalam perjalanan ini, Life of Pi, di sana aku mendapat gambaran lain tentang kebahagiaan para hewan. Orang kerap berpikir, hewan di kebun binatang tidak bahagia karena tidak hidup bebas. Pi menggugat: benarkah kebebasan itu membahagiakan? Kebebasan yang dimaksud adalah ketidakpastian dalam hidup. Dalam kebebasan, si hewan tidak tahu kapan akan memangsa atau dimangsa; dalam kebebasan, si hewan harus berhadapan langsung dengan manusia, sebagai musuh, bukan sebagai pengunjung dan yang dikunjungi. Di kebun binatang dia bisa makan dengan enak, punya teritori yang tidak perlu diributkan lagi, dan—“Eh, si anu sudah punya gebetan baru,” katanya, membuyarkan lamunanku. Dia tampaknya menyinggung sahabat terdekatnya, seorang perempuan cantik, muslimah tanpa kerudung, yang beberapa waktu lalu ingin kabur dari rumah, ingin bunuh diri, namun terlanjur beli tiket liburan ke Bali untuk pekan depan. “Gebetan barunya ini katolik,” sambungnya.

“Ya tuhan,” kulemahkan suaraku, “kenapa sih orang-orang ini. Mereka seperti sengaja mendekati patah hati.”

“Kamu juga. Aku juga.”

“Bodoh sekali.”

“Kenapa kita begitu?”

Aku menatap matanya ketika sesuatu muncul di kepalaku. Ya, ya, “Mungkin pada akhirnya kita hanya butuh orang yang mengerti dan ada untuk saat ini, bukan untuk bertahun-tahun apalagi selamanya. Kita begitu butuh terselamatkan meski hanya untuk satu atau dua menit berikutnya.”

“Seburam apa pun kondisi yang menunggu di depan.”

“Seburam apa pun.”

Dia menciumi wajahku. “Terima kasih,” katanya, “dicintai olehmu membuatku lebih sanggup mencintai diriku sendiri.”

Sabtu Pagi di Pondok Cina


Kau duduk bersila di rak nomer 806, dengan sweater wool berlengan panjang, menimang sebuah buku tipis—puisikah? Karya siapa? Kenapa kau masih membaca puisi di zaman seperti ini? Aku mengerti kenapa orang menulis puisi, tapi aku tak mengerti kenapa orang membaca puisi. Kau tak mendengar bunyi langkahku yang berbatu. Coba lihat, aku salah memakai sepatu. Harusnya tidak sepatu gunung bersol keras. Sampai akhirnya aku menemukanku, sepanjang pencarianku, di antara rak-rak buku yang tinggi dan manusia-manusia berwajah kaku, aku berjalan seperti tentara yang memasuki desa-desa. Kubalas tatapan mereka dengan dingin. Ramai sekali, dan aneh sekali, karena ini Sabtu pagi. Apa mereka tidak mengambil jeda dari berpikir? Apa mereka tak ingin bermalas-malasan saja di kamar?

Aku berdiri agak lama, menunggu matamu terangkat dari sana.

“Heh,” sapaku, yang dalam beberapa detik kemudian kusesali karena terasa kasar. Harusnya aku duduk saja di sampingmu, membiarkanmu tetap seperti itu. “Akhirnya,” lanjutku dengan lebih landai, “Tadi aku berputar-putar. Bahkan sempat nyasar ke ruang janitor. ”

“Janitor mana?”

“Dekat musola, pojok. Mereka tertawa saat aku tanya lantai dua.”

Kau tertawa, lalu berdiri, meletakkan buku itu kembali.

Kau tampak lelah tapi cantik. Atau kau cantik tapi lelah. Berjalan dengan kaki terseret, punggungmu bengkok, tanganmu terayun setengah-setengah, seluruh tubuhmu seolah menciut ke dada. Di dalam sana pasti ada sesuatu yang amat berat, ya, begitu, sesuatu yang ingin sekali kuketahui tapi akan kau sembunyikan baik-baik.

Berulang kali kulihat kukumu yang merah. Lipstikmu juga merah, menyala. Kau pernah bilang, semakin kau bersedih, lisptikmu semakin cerah. Ini waktu yang tepat untuk berjumpa.  Kita berjalan memutari danau, lalu berhenti di bangku semen yang kasar. “Aku suka bunyi air,” katamu, sembari menatap permukaan danau yang kusam. “Setiap kali mengantar adikku kuliah, aku pasti ke sini. Tapi aku tidak suka pohon.” Daun-daun jatuh bau ban terbakar. Orang bergerak melintas, dengan pembicaraan penting yang sebetulnya tidak krusial. Selalu saja ada hal yang dipenting-pentingkan padahal tidak berdasar. Kenapa tidak menepi, batinku, kenapa masih di kota? Kutatap wajahmu yang tak berkutik. Apakah manusia memang harus dekat dengan kantor, dengan kafe?

“Golongan darahmu pasti O,” katamu.

“Karena aku dermawan?”

“Bukan. Karena kita mirip.”

“Kita sama-sama dermawan.”

“Apa hubungannya?”

“Darah O selalu lebih banyak memberi. Mereka akan memberi semua untuk orang lain, tanpa pandang bulu, tanpa peduli apa yang telah orang itu lakukan, tanpa peduli dirinya sendiri menderita.”

“Platonik ya?”

“Goblok, lebih tepatnya.”

Angin ribut melintas. Daun jatuh menerpa kita. Bau hujan datang lagi. Kau bertanya hendak ke mana aku setelah ini. Kubilang, aku tidak tahu, mungkin akan ke Pasar Rebo, mengulang kembali rutinitasku ketika masih punya pacar di Depok, atau aku mungkin duduk lebih lama di sini, mungkin juga pergi ke Detos atau Margo City. Aku sedang berada di ambang.”

“Ambang?”

“Seperti orang mabuk.”

“Ayo kita ke Margo. Kebetulan aku mau beli Yakult buat adikku. Dia sedang sibuk belajar dan begadang. Oh, iya, aku pulang jam 3 ya. Adikku mau keluar jam segitu. Ada acara BEM katanya.”

Sedikit sekali waktu yang kita punya. Kau bisa mengucapkan dua sampai tiga maksud dalam satu tarikan napas. Luar biasa efisien. Luar biasa menakutkan. Dadaku jadi sempit.

Kita berjalan lagi. Entah kapan terakhir kali aku berdua dengan seorang yang kusuka, berjalan kaki, seolah tidak ada pilihan lain untuk bergerak. Aku suka keintiman yang lambat seperti ini, kalau bisa aku ingin selamanya. Masa tua pasti sangat merepotkan jika bergerak seperti kereta, mobil, pesawat. Aku ingin begini terus. Bagaimana jika kita punya anak—astaga, ini pertanyaan yang terlalu cepat. Aku tidak akan mengucapkannya. Bagaimana jika kita punya rumah agak menepi—ini pun terlalu cepat. Akhirnya aku diam saja. Kuhabiskan lebih banyak waktuku untuk menghafal gerak tubuhmu.

Di Margo kita lihat-lihat barang yang sebetulnya tak kita butuh ataupun ingin. Semata buat membuka peluang untuk lebih saling mengenal. Bagaimana ini menurutmu? Oh, ini bagus sekali. Ah, ini terlalu mahal. Aku ingin beli ini, katamu, tapi nanti sajalah, menabung dulu. Aku tidak pintar dalam belanja, kubilang, tapi aku tahu betul apa yang sebetulnya berharga. Mungkin karena itu aku lebih sering memperbaiki ketimbang membeli. Banyak barang lama yang kusimpan, juga masih kupakai, padahal bentuknya sudah tidak sedap.

“Aku tahu,” katamu.

“Tentu.”

“Aku orang yang sangat manja jika sudah dekat.”

“Aku tahu,” kubilang, mengikuti nada bicaramu, “aku juga orang yang sibuk berusaha membantu orang lain dan sangat layu jika berada di sisi orang yang kusuka. Semua orang butuh sandaran.”

“Aku pasti merepotkan.”

“Aku tahu.”

“Aku mau kuliah ke luar negeri.”

“Lakukan.”

“Tapi aku takut tidur dengan bule. Aku takut nanti hamil lalu mereka tidak mau menikahiku. Mereka sangat liberal.”

“Jangan hamil.”

“Seandainya terjadi.”

“Aborsi.”

“Tapi aku tidak mau lihat penis lain. Aku tidak mau membanding-bandingkan.”

“Maksudmu, kamu cuma mau lihat satu penis saja?”

“Iya.”

“Berat sekali jalan hidupmu.”

“Mungkin aku kuliah ke Singapur saja.”

“Tidak mungkin melihat penis di Singapur?”

“Bukan begitu.”

Kita memesan daging bakar yang ternyata terlalu manis. Rasanya seperti memakan irisan kol yang diberi kecap. Kaupanggil pramusaji untuk memotret kita. Ini pertemuan pertama yang sederhana, tentu saja. Mungkin kita sudah terlalu lelah mempersiapkan diri untuk jatuh cinta atau berusaha tampil agar dicintai. Cukup banyak obrolan terjadi sebelum akhirnya kita tiba di sini. Tapi semuanya biasa-biasa saja, sungguh membanggakan untuk dipercaya. Maksudku, coba kaulihat, di luar sana, sudah jarang sekali orang yang mencintai hal biasa-biasa saja.

“Aku bisa saja menyukaimu, seperti kamu kepadaku,” katamu, “tapi aku punya firasat buruk soal hubungan ini. Kita pasti menyakiti banyak orang. Itu akan menyakitiku juga.”

Astaga, “Mungkin sudah saatnya kamu melayani dirimu sendiri. Kita tidak mungkin hidup buat orang lain terus. Lama-lama kamu bakal jadi manusia yang merangkak. Bahkan jadi merayap, seperti kadal, tidak akan bangun kembali. Dan tidak akan ada yang mau hidup dengan kadal.”

“Aku sedang berusaha. Dan aku ragu.”

“Kamu berhak bahagia,” kubilang, dan kau cuma diam. “Aku sempat benci dunia karena ada banyak orang baik yang tidak bahagia. Sementara orang-orang jahat bisa dengan mudah tertawa.”

“Menurutmu kenapa?”

“Kita terlalu takut menyakiti orang lain.”

“Kita orang baik.”

“Tentu.”

“Tapi rasanya itu jahat sekali. Dan aku tidak tahu siapa yang sebetulnya jahat. Membingungkan sekali. Kenapa kebaikan harus menjadi sesuatu yang buruk?”

Di depan lemari es Carfefour, kau sempat menunjuk susu kedele kesukaanmu. Itu enak, katamu. Kau bisa meminumnya tanpa takut alergimu kambuh. Beli satu, kubilang, aku juga mau coba. Kubuka tutupnya yang keras dengan gigi, membuatmu sedikit khawatir, atau mungkin sebetulnya kau malu, karena orang beradab tidak akan melakukan hal semacam itu di keramaian. Mirip bubur kacang ijo, kubilang, tapi ini versi encernya. Dan aku suka.

“Kau suka mabuk?”

“Tidak,” kubilang, “aku sudah lelah.”

“Aku pernah mabuk sendirian. Saat itu aku di puncak kelelahanku. Tapi sudah kapok. Karena besoknya aku muntah-muntah di kantor. Isi kepalaku seperti tumpah semua.”

“Kemarin, saat sedang kacau, banyak kawan yang menawari minum, tapi aku akhirnya memesan teh jahe.”

“Jauh sekali.”

“Mungkin karena aku sudah cukup tua. Aku ingin melihat kegelapan dari jarak yang amat dekat, dengan mata yang benar-benar jernih dan segar.”

“Tidak lagi seram ya? Haha.”

“Seram. Sebetulnya masih seram. Tapi semua bisa dibicarakan.”

“Kamu pernah narkoba? Atau gele?”

Kuperhatikan caramu meletakkan belanjaan di kasir, caramu membetulkan sweater yang terbuka; kau seperti seorang ibu beranak dua yang sudah tak punya duri di luar tubuhnya. Rok panjangmu, juga ikatan rambutmu yang sembarangan, tidak terlihat seperti gadis yang hendak kencan. Dan aku suka lipstikmu yang perlahan luntur, menampakkan warna asli bibirmu yang pucat. Aku suka bulu betismu yang tidak kaucukur—tidak sempatkah? Atau sengaja? Itu tampak begitu manusiawi. Itu tidak Jakarta, juga tidak Depok sama sekali.

“Rileks sajalah,” kubilang, “jalani sejauh mungkin, dan jika akhirnya kamu bertemu yang lebih tepat, silakan.” Aku tahu sebagian diriku kembali patah ketika mengatakan itu. Ini bukan kali pertama aku jatuh kepada perempuan dengan agama berbeda. Dialog-dialog lama, argumen-argumen lama, dan ketidakpercayaan diri yang sama, muncul kembali. Aku sudah cukup dewasa untuk bicara kepada orang tuaku, batinku, tapi mungkin lain bagimu. Ya ampun, ini menyebalkan sekali. Kenapa kebahagiaan begitu berbahaya untuk didekati? Ini Sabtu pagi, kau tahu. Harusnya kita malas-malasan saja di kamar, tidak perlu ke taman, apalagi ke pusat perbelanjaan. Kau bisa memasak tomyam di rumahmu, atau menonton netflix seperti orang-orang, sambil menggosipkan kehidupan artis-artis yang berantakan dan merasa menjadi manusia yang lebih baik karenanya. Aku bisa tergeletak, dengan dada telanjang, sambil membaca nasihat-nasihat Erich Fromm yang sok tahu itu.

Kita berjalan lagi menuju stasiun Pondok Cina. Kau mencarikan rute terdekat buatku kembali ke Ciputat. Turun di Tanjung Barat, katamu, lalu naik gojek. Aku sangat ingin menempatkanmu sebagai adikku, tapi sepertinya, pada akhirnya, akulah yang akan menjadi anakmu. Kau temani aku mengantre di loket. Kau bilang, hati-hati banyak copet, amankan dompet. Sepanjang perjalanan menuju Tanjung Barat, yang menempel di kepalaku adalah dompet dan wajahmu—wajahmu di dalam dompetku, dompetku di wajahmu. Aku senang bisa memikirkan kalian bersamaan. Aku ingin kalian berdua aman. Sungguh.

Tapi kenapa aku tidak sempat memelukmu. Kenapa kita berpisah begitu saja, seolah kita tidak saling menginginkan. Ini Sabtu pagi, tapi kita berpisah seperti di Senin pagi.

Bisakah bertemu lagi?

Semua Tikus Menyukainya


Dia mati gara-gara sakit ginjal. Umurku lima belas tahun kala itu. Kuletakkan rokok di tepi meja. Saat dia masih ada, tidak pernah kupahami kenapa dia merokok.

Rumah sudah tak ada pelayat. Doa-doa berhenti. Tikus dan rayap semakin banyak, mengambil ruang di bagian-bagian tergelap yang tak pernah kuurusi.

Kuambil lagi rokok itu dari tepi meja yang hitam terbakar, kunyalakan lagi, kutaruh di tepi bibir. Aku mulai paham kenikmatannya. Ibu tidak melarang. Dia sibuk menerka harga sofa, lemari, gitar, dan buku-buku yang menumpuk di kamar lelaki itu. Aku tidak melarang. Silakan saja. Sudah semestinya.

Setahun kemudian rumah menjadi peti kosong dan dalam kosong itu sepotong bunyi menjadi lolong yang panjang. Di malam hari, nyaring cicak mengetuk-ngetuk pintu, dan kerikit tikus membuat jalan pintas ke dalam lemari. Ibu makin jarang tinggal. Dia mengisi tubuhnya dengan lelaki lain dan pergi ke seberang pulau.

Dari kabar yang kudengar, dia jadi perempuan penurut. Dia mungkin sudah lelah berkelahi dan kini memberikan sisi tabahnya kepada lelaki lain.

Lelaki bajingan seperti ayahku tidak pernah mendapatkan apa yang harusnya dia dapatkan dari orang yang paling dia cintai. Pernah kudengar mereka bertengkar. Ibu membawa lelaki lain ke rumah. Dan ayah tergelatak mabuk di kamar, memainkan Fly Me to The Moon dengan gitar pemberian Yusi, drummer bandnya yang mati karena melompat dari apartemen.

Aku bisa bermain drum. Aku bisa menggantikan Yusi. Tapi ayah bilang, lebih baik aku jadi guru musik saja. Tidak perlu jadi musisi.  Sedang Ibu ingin aku jadi sarjana ekonomi.

Mereka berada dalam dosa yang sama tapi tidak pernah rela. Ibu berjanji akan berhenti merokok jika ayah berhenti mabuk. Ayah berjanji akan berhenti mabuk jika Ibu berhenti pacaran dengan lelaki lain. Ibu berjanji berhenti pacaran dengan lelaki lain jika ayah berhenti main musik. Di sinilah semuanya jadi mustahil.

Aku tidak pernah berjanji apa pun, tak pernah mengingkari apa pun. Aku sendiri di rumah. Uang rokok selalu dikirimi. Kadang kupakai membeli bir. Sekarang aku mengerti kenapa lelaki banyak mabuk. Sekarang ada lebih banyak hal yang kumengerti.

Aku terjebak dalam kepalaku. Aku ingin melubanginya. Aku akan keluar, lalu orang akan mengintip lewat lubang itu dan berkata, “oh pantas saja anak ini begini, oh pantas saja anak ini begitu.”

Manusia menyedihkan.

Lebih dari separuh populasi manusia tidak layak hidup dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang hidup layak. Aku pantas marah. Tapi sudah tak punya tenaga.

Julia mengunjungiku kadang. Dia akan berkata “yang benar saja, Oleg, masa uangmu sudah habis?” seolah baru pertama kali kuhabiskan uangku untuk urusan yang tidak jelas.

Uang hilang begitu saja. Seperti ingatan tentang hal-hal tidak penting.

“Cari sesuatu, pasti masih ada yang bisa dijual,” kubilang.

“Di kamar Ibumu masih ada piringan musik.”

“Aku harus menunggu satu tahun lagi untuk menjual itu. Kadang masih kuputar musik dari sana.”

“Kenapa satu tahun?”

“Tidak tahu.”

“Satu tahun itu lama. Kita jual saja dulu, nanti kalau ada uang lain, kita beli lagi yang sama.”

Aku tak membalas.

“Kamu takut ibumu marah? Kamu masih sering memikirkannya?”

Julia akhirnya tidak menyisakan apa pun di rumah itu. Perempuan sangat pintar urusan jual beli. Aku ingin melarang. Tapi sudah, biarlah.

Dia suka teler pakai zenith. Satu kali tenggak 20 pil. Kalau ada yang lebih murah lagi, dia pasti membelinya. Pernah kusarankan dia untuk mencampur ethanol dengan teh manis atau jus jeruk. Rambutnya semakin kacau ketika dia melakukan itu.

Kulihat matahari berputar-putar di lubang pintu. Kulangkahkan kakiku ke luar, dan tidak kutemukan siapa pun. Orang-orang sudah berubah jadi pohon-pohon yang bergoyang kena angin, jalanan diselimuti debu, bilah-bilah pagar terlepas berserakan. Kiamat sepertinya telah terjadi tanpa sepengetahuanku.

Rumput halaman tinggi. Malam nanti aku akan mencoba tidur di sana.

Di dalam Julia sudah tidak ada. Sebulan setelah hari itu, dia mati overdosis. Kasihan sekali dia mati dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hal semacam itu tidak boleh terjadi padaku. Saat kematian mengunjungiku, tidak akan kututup mataku sedikitpun. Sampai selesai akan kusaksikan semua yang dia lakukan.

Sial, Julia, tanpamu aku harus membeli kebutuhanku sendiri.

Aku benci semua pegawai swalayan. Gaji mereka kecil. Aku benci semua orang miskin. Aku benci semua orang yang mirip denganku.

Langit begitu biru dan dia menatap mataku. Dia menemukan dirinya di dalamku. Biru tidak banyak bergerak, katanya, karena itulah biru istimewa. Biru tidak perlu apa pun untuk menjadi biru. Biru tidak pernah dilahirkan dan tidak pula berakhir. Tapi bantalku sudah hampir hitam.

Aku lupa kapan terakhir kali membaliknya. Dia sudah menempel dengan ranjang. Setahun lalu aku menaruh sebilah pisau di bawah sana. Alasannya tidak begitu jelas. Banyak yang mengikutiku dalam tidur. Mereka mengancamku berkali-kali. Dan mereka berada dalam diriku. Apakah pisau itu masih di sana?

Malam itu ibu bertanya, “Masih ada yang tersisa tidak?”

“Ada apa?”

“Aku sedang butuh uang.”

“Ke mana suami barumu?”

“Sudah tidak ada.”

“Mati atau bagaimana?”

“Semacam itu.”

“Bagaimana kalau rumah ini dijual saja lalu uangnya kita bagi? Aku sudah tujuh belas tahun lebih.”

“Kamu memang anak hebat. Pasti jadi orang hebat.” Dia mengulang-ulang kalimat ini seolah tidak pernah mengucapkannya.

Aku berjalan lebih jauh dari swalayan itu. Lebih jauh dari biasanya. Tubuhku ditangkap hujan yang jatuh selepas duabelas malam. Selokan muntah. Koper-koper, kursi, dan televisi berjalan menyelamatkan diri. Mereka bicara soal pekerjaan lain. Mereka bicara soal masuk kantor keesokan harinya. Sialan, kata si koper, musim hujan harusnya jadi tanggal merah. Tidur di mana kita malam ini?

Di atas rumput pekarangan, kuamati salah satu bintang. Kedipnya semakin lambat. Mungkin malaikat maut sedang mengintainya.

Salah satu lampu di rumah seberang menyala. Bayangan di jendela bergerak membesar dan membesar lalu jendela itu ditelan olehnya.

Sepasang sepatu putih keluar dari gelap. “Kenapa tidur di luar, Oleg?” katanya, “Kamu bisa mati kena malaria.”

Ada sepasang betis putih di atas sepatu itu. Kedua betis itu baru saja mencukur bulu. Aku ingin tidur di betis itu jika nanti bulunya tinggi.

“Kamu mabuk lagi, Oleg?”

Ada sepasang lutut di atas dua betis itu. Lutut pucat seperti wajah ayahku yang dikubur terlambat. Kami terpaksa menguburnya dalam hujan. Astaga, semua basah kuyup. Dan hujan hari itu semuanya menumpuk di punggungku, tidak pernah jatuh ke tanah.

“Ayo masuk ke dalam,” katanya, kali ini aku melihat sepasang dada, lalu sepasang pundak, lalu leher yang tipis. “Kubuatkan mi rebus,” katanya lagi. Dagu itu bergerak-gerak. “Bagaimana kuliahmu, Oleg? Syukurlah kamu belum mati.” Hidung itu kembang kempis. “Kenapa kamu biarkan semua berantakan?” Kening itu lebar sekali seperti kening seorang perempuan yang kubayangkan.

Ternyata sepasang tangan sedang menuntun tanganku. Kulitnya seperti pohon palem yang menunggu mati. Jari-jari itu melepaskan diri. “Duduk di situ,” katanya, “tunggu, aku masak mi dulu.”

Kunyalakan rokok. Kuletakkan di bibir. Kadang di tepi meja. Kusaksikan punggung itu bergerak ke sana ke mari. Dia bergerak cetakan di dapur yang sudah tak lengkap.

Saat kepala itu menoleh, sepasang mata lebih dulu melihatku. Kubalas dia, dan dia bilang, “Makan dulu, Oleg, setelah itu kita bicarakan pembagian uangnya. Aku tidak bisa menginap. Harus segera kembali.”

Di atas rumput ayah telentang di sampingku. Langit begitu biru. Dan jauh di sana kulihat dunia kerlap-kerlip. “Bertahanlah sampai usia tiga puluh. Setelah itu terserah, kau mau mati pun tak masalah,” katanya, “karena setelah itu tidak ada lagi musik, tidak ada lagi petualangan.”

Aku sudah hidup sejauh ini. Aku sudah menceritakan diriku kepada puluhan perempuan. Satu dua dari mereka tidur denganku lalu terbangun sebagai zombie. Aku tidak ingin mengulanginya lagi. Tapi apa lagi yang bisa dijalani?

Kebahagiaan adalah barang langka. Kebahagiaanku berada dalam dada orang lain dan aku harus mencabutnya dari sana. Terlalu banyak hal buruk di dunia ini. “Aku tak berani hidup terlalu lama,” kubilang, “mungkin hanya sampai dua puluh. Itu pun sudah lebih dari cukup.”

Kulupakan rokok di tepi meja. Kusambangi ranjang, kutenggelamkan tubuhku di sana. Bulan berkedip, bulan dengan kosmetik, menari-nari di lubang jendela. Ibu pergi meninggalkan aroma nanas. Semua tikus menyukainya.