[Review] Mengadili Kontol Ajo Kawir

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia

Tahun Terbit: 2014

Jumlah halaman: 243

ISBN: 978-602-03-0393-2

Liang yang Kering

Ajo Kawir mengintip janda gila yang diperkosa oleh dua orang polisi dan dia diam saja. Semenjak kejadian itu, kontolnya ngambek dan tidak mau bangun. Dimulailah petualangan Ajo Kawir dan usaha-usahanya untuk membangunkan si kontol, hingga akhirnya dia menerima keputusan kontol itu untuk bertapa. Kurang lebih seperti itulah inti cerita novel ini.

Saya membuka novel ini pertama kali di taman Suropati, sambil sesekali memicing pada merpati yang turun ke tanah. Dari buku ini saya berharap mendapat suatu ledakan pencerahan, emosional maupun intelektual, sebab banyak sudah orang memujinya dan dari ekspektasi itu saya berangkat untuk membahagiakan diri saya. Tapi, sayangnya, hanya sampai sepuluh halaman, buku ini sudah mampu membuat saya mengantuk, lantas menutup kembali halaman-halamannya. Buku yang luar biasa membosankan. Garing. Bahkan menyebalkan. Seperti kontol kering yang dipaksa masuk ke memek perempuan—yang sialnya, juga sedang kering.

Singkat cerita, saya akhirnya selesai membaca buku ini. Ide dan pesan yang berusaha disampaikan sesungguhnya menarik. Hanya saja, cara pengemasannya membuat saya gagal terkesan. Dua poin ini—penyajian dan pesan—akan saya bahas satu per satu, dan, agar review ini punya happy ending, saya akan membahas kejelekannya terlebih dahulu.

Titik pertama kritik saya untuk buku ini adalah pada plotnya. Butuh waktu bagi saya untuk memahami bagaimana plotnya dimainkan, hingga saya sampai pada kesimpulan bahwa plotnya dibebaskan bermain tanpa aturan. Di sebuah bab, penulis bisa memainkan pola tertentu pada plotnya, tapi di bab lain, sama sekali acak, dan sukar untuk melacak sebuah adegan masuk ke bagian mana dalam alur cerita. Tetapi, bisa jadi ini hanya kelemahan saya dalam memahami dan saya terlalu malas untuk membaca kembali sesuatu yang tidak saya nikmati.

Satu bab yang permainan plotnya membuat saya terhibur, adalah ketika Mono Ompong berkelahi satu lawan satu, dilengkapi dengan flashback tentang kekasih hatinya yang seorang perek. Plot di bagian ini terbantu oleh gaya sajian penulis pada jalan pikiran Mono Ompong, yang berani, tapi hanya dalam pikiran sendiri. Selain di bagian Mono Ompong itu, gaya penyajian plotnya sungguh ganjen; membuat runyam namun tanpa urgensi dalam memperelok cerita, seolah disusun dengan prinsip “yang penting unik dan beda”.

Kata “kering” dalam tajuk di atas terutama mengacu pada narasi dalam buku ini. Narasinya kaku sekali, miskin metafora, miskin deskripsi suasana, dan bahkan kerap terkunci pada pola SPOK. Ini bagaikan menyimak sebuah cerita yang berjalan namun tidak hidup, tidak hadir dalam imajinasi pembaca. Misal, di sebuah paragraf, ada narasi: Si Perokok Kretek masih mengisap rokoknya. Ia membuang abunya sembarangan ke lantai. Ia mengangkat kakinya yang lain, dan menumpangkannya di kaki yang bersandar ke dinding. Ia memutar-mutar batang kreteknya di antara tangannya. Ia sangat mahir dalam permainan itu. (hal. 23-24) Saat membaca bagian ini, saya merasa kesal sekali. Ini narasi yang membosankan dan sulit dinikmati.

Masih tentang narasi, sering buku ini bercerita dengan pengambilan sudut pandang yang bergonta-ganti, dari POV 3 menuju POV 1, seolah lupa menyertakan tanda petik atau penanda italic. Jika itu disengaja, maka saya sama sekali, dan sekali lagi, harus mengatakan bahwa saya tidak tahu urgensinya. Agar terkesan beda saja? Contoh narasi yang saya maksud seperti ini: Si Kumbang menguap dan mengambil sebatang rokok, lalu membakarnya. Keneknya bertanya, apakah mereka akan bergantian tugas mengemudi sekarang? Si Kumbang menggeleng. Nanti saja, katanya, ia masih mau mengemudi beberapa kilometer ke depan. Kita akan berhenti di warung Ijem. Aku mau tidur sebentar dengan si Ijem. Aku ingin bokong bocah lelaki, apa boleh buat, yang tersedia hanya bokong Ijem. (hal. 140) Ketidakkonsistenan semacam ini betul-betul mengganggu.

Mengadili Si Kontol

Siapa yang risih pada kalimat akhir di paragraf kedua di atas? Di sana saya menyebutkan kata “kontol” dan “memek”, sama seperti penulis menyebutkan kedua kata tersebut dalam bukunya. Maksud kalimat akhir itu dan bagaimana seharusnya kita menilainya, sebetulnya tidak jauh beda dan memang tidak seharusnya berbeda dengan kalimat “Seperti biji kedondong kering yang dipaksa masuk ke dalam tenggorokan—yang sialnya, juga sedang kering.” (Yang tidak tahan membaca dua kata itu, saya sarankan berhenti membaca review ini di titik ini).

Saya memuji keberanian buku ini dalam mengangkat kedua nama itu ke atas panggung, untuk dilihat dan dimaknai kembali. Keduanya kerap dituduh kotor, jahat, bahkan ketika mereka tidak melakukan apa-apa. Selalu, nama mereka dilarang muncul kepermukaan, seolah mereka buron yang baru selesai membantai sebuah peradaban. Padahal, keduanya hanya melaksanakan kerjanya: membuat lelaki bernafsu pada perempuan, begitupun sebaliknya, untuk lantas menciptakan anak manusia. Tidak ada yang salah pada lelaki yang melakukan hubungan seks dengan perempuan, selama tidak saling menyakiti. Dan tentu, hanya karena satu atau dua kontol memperkosa, tidak berarti orang berhak menghakimi semua kontol sebagai penjahat dan ngeri atau jijik ketika menyebutkan namanya.

Di bagian lain, salah satu tokoh dalam cerita menyebutkan bahwa kontol adalah pikiran kedua manusia—selain otak, tentunya. Kemauan kontol kadang sangat kuat sehingga sama sekali tidak bisa dibebat. Ketika ingin bangun pagi, dia akan bangun pagi tanpa menunggu tuannya. Ketika dia ingin tidur, maka dia akan tidur semaunya, bahkan bisa sungguh lama, seperti apa yang dialami kontol Ajo Kawir. Seorang ilmuan—ahli nuklir, geometri, astronomi, dan lainnya—barangkali punya intelektualitas yang tinggi, akan tetapi, ketika melihat lawan jenis yang molek dan sesuai seleranya, kontolnya akan ngaceng sendiri, tanpa bisa dilawan dengan rumus apa pun. Itu normal dan tidak untuk dijadikan rasa malu. Kontol, sebagaimana otak, harus ditempatkan secara adil, sebagai barang purba milik manusia yang paling berharga.

Yang terpenting dari itu semua, dalam buku ini, kontol Ajo Kawir adalah gambaran nurani. Si Kontol melihat sebuah pemerkosaan tetapi diam saja, ibarat nurani yang menonton kejatahan dan tidak melawan, akhirnya mengkerut, kehilangan daya untuk melakukan tugasnya. Menjadi lebih parah karena kejahatan itu dilakukan oleh penegak hukum. Si kontol—atau si nurani—akhirnya betul-betul mati. Untuk menghidupkan lagi kontol yang semacam itu, butuh usaha yang berat; dimulai dari pengakuan akan kesalahan, pertobatan, dan mulai melakukan hal baik yang terlihat tidak menyenangkan, misalnya menyetubuhi perempuan yang tidak sedap dipandang.

Untuk menjawab teguran dari kontol Ajo Kawir, kontol-kontol yang lain barangkali harus berkumpul, atau setidaknya ikut menjadi jantan, lalu mencekik kontol-kontol bajingan yang telah merejang paksa kekasih mereka, tanah mereka, bangsa mereka, dan telah membikin reputasi mereka jadi buruk. Saya sudah mengobroli kontol saya sendiri, dan dia setuju dengan gagasan ini. Tapi saya tidak yakin apakah saya berani.

25 comments on “[Review] Mengadili Kontol Ajo Kawir

  1. […] “… hanya sampai sepuluh halaman, buku ini sudah mampu membuat saya mengantuk, lantas menutup kembali halaman-halamannya. Buku yang luar biasa membosankan. Garing. Bahkan menyebalkan.” Ulasan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sila baca di sini. […]

    Suka

  2. ikrimah berkata:

    soal dialog tanpa kutip, juga saya dapati di kumcer Pendamping karya Ardy Kresna Crenata, juga Saman karya Ayu Utami.

    Suka

  3. amexrijal berkata:

    soal penulis yg nurunin “maqom” karyanya, seperti kata temenmu, demi pesan tersampaikan kepada pembaca, itu menurutmu gimana, mas? mengingat mas eka emang bukan penulis kacangan. dia pembaca rakus novel2 kelas dunia, dan dia paham betul apa2 yg dibacanya–soal teknik penulisan atau tetek bengeknya (setidaknya ini terbaca dr tulisan2 di blog dia).

    Suka

    • rezanufa berkata:

      Yap. Aku pun memahami ini. Di novel Revolusi pun aku melakukan hal yang sama, dengan niat mengenalkan politik pada remaja. Novel Revolusi itu ringan banget. Jauh dari Hanif. 😀

      Tapi toh, sebagai seorang pembaca, target kritikku memang karyanya. Soal apakah si penulis menurunkan level tulisannya agar dimengerti oleh orang yang lebih ‘muda’, atau si penulis sedang sakit ketika menulis karya itu, atau ibu si penulis meninggal ketika menulis itu, itu bukan sesuatu yang mesti kupertimbangkan ketika menilai karyanya.

      Suka

  4. teguhafandi berkata:

    Urun rembuk juga Bang, ini pendapatku saja….

    Saya bukan fans berat Eka Kurniawan, tetapi membaca karya-karya beliau saya mengagumi bagaimana Eka Kurniawan memakai teknik yang sangat beda dengan penulis jamak di Indonesia. Kalau kata Bernard Batubara, teknik yang dipakai Eka Kurniawan adalah foreshadowing yang lebih dulu dipopulerkan oleh Gabriel.

    Dua novelnya Cantik itu Luka dan Lelaki Harimau juga memakai teknik yang serupa. Hal yang terlihat kentara adalah plot yang berubah-ubah dan seperti sengaja bikin pembaca jengkel dengan ‘ngalor ngidul’. Apa salah? Menurutku tidak. Meski tidak menggunakan teknik peramalam, Mo Yan selalu membolak-balikkan plot, di bagian awal sudah mati eeeh di tengah diceritakan lagi.

    Kemudian tidak adanya tanda petik, itu sah-sah saja. Banyak kok penulis Indonesia yang memakai teknik menulis kalimat langsung macam begini. Misal Saman, atau Midah Simanis Bergigi Emas-nya Pramoedya.

    Ya memang setiap pembaca punya hak mengadili setiap yang dibaca. Tetapi baca resensi Bang Reza punya prespektif baru, minimal aku yang sudah menjagokan novel ini untuk menang KLA 2014 jadi kepikiran ulang. Heehee…

    CMIIW

    Suka

    • rezanufa berkata:

      Yap, penyajian plot itu sama sekali tidak salah. Tapi aku termasuk yang tidak bisa menikmati. Dan menurutku, sastra, terlepas dari pesannya apa, mestinya bisa dinikmati.

      Aku pun pernah baca Saman, tapi nggak sampai beres. Yang jadi soal, aku kadang bingung, bentuk narasi POV1 yang tanpa tanda kutip itu maksudnya isi hati si tokoh atau dialog? Imajinasiku jadi mengambang, aku gagal terhanyut dalam cerita.

      Wah, iya, ini novel masuk KLA ya. Baru inget. XD

      Suka

  5. teguhafandi berkata:

    Bahkan masuk lima besar, dan aku menjagokannya… heeheehee 😛

    Suka

  6. chiell berkata:

    Review yang mantab.

    Soalnya saya justru kebalikannya, saya sungguh menikmati alur yang ngalor ngidul dan melompat-lompat itu, namun justru gagal menangkap pesan cerita secara utuh, yang sebenarnya (setelah membaca review ini) begitu jelas terlihat.

    Suka

  7. Ricky P. Rikardi berkata:

    Sepertinya Eka memang sengaja mengubah cara menulis dan berceritanya (jika dibandingkan dengan 2 novel Eka sebelumnya). Saya pribadi juga lebih suka gaya berceritanya yang seenak-udel seperti di novel Cantik Itu Luka.
    Resensi yang bagus, Mz.

    Suka

  8. Mono Ompong berkata:

    Sejauh ini, ini adalah ulasan mengenai “Seperti Dendam…”–dari yang pernah saya baca–yang bukan hanya mengambil sudut pandang berbeda, melainkan pula kritik dalam arti sesungguhnya, hingga menuju batasan mendiskreditkan sebuah karya.

    Sebagai seorang pembaca novel ini layaknya Anda, saya berpijak pada sisi berseberangan. Saya menyukainya. Awalnya saya cukup merasa gerah dengan poin-poin ulasan yang Anda telah lontarkan. Namun saya mencoba untuk tetap bersikap santai dengan terlebih dahulu mencermati kondisi. Hingga pada titik tertentu saya merasa cukup tenang, bahkan sangat senang. Eka Kurniawan, si penulis buku (novel) “membalas pukulan” Anda dengan begitu tenang dengan memunculkan sebuah jawaban terkait Tristram Shandy. Sebuah upper cut yang menurut saya cukup telak.

    “Sebab sebagaimana pernah dikatakan Cortazar (salah seorang eksperimentalis paling gila dalam kesusastraan modern), kerja menulis novel merupakan kerja anarkis. Tapi ingat, itu bukan formula. Sekali sesuatu telah menjadi formula, itu tak layak lagi disebut anarkis.”

    Anda boleh saja berdalih bahwa posisi Anda dalam mengkritik adalah sebagai pembaca. Kata Anda, seseorang tanpa menjadi juru masak pun bisa mengadili sebuah masakan dengan label “tak enak”. Bagai mencap telor busuk tanpa menjadi seekor ayam, bukan? Tetapi, entah saya yang luput atau Anda yang kelewat lupa bahwa sejatinya Anda adalah seorang penulis pula. Alangkah lebih elok bila seandainya POV yang Anda pakai tak hanya memakai satu kaca mata, tapi menggunakan kaca mata ganda.

    Ah, mungkin saya yang salah. Lain kali jika diberi kesempatan, saya pun akan membaca Hanif atau Revolusi kemudian membuat ulasannya dari sudut pandang “pembaca”.

    Salam,
    Mono Ompong.

    Suka

    • rezanufa berkata:

      Menerobos pakem memang oke, tapi tentu tidak otomatis hasilnya bisa dinilai sebagai oke. Orang sering nyeletuk tentang anarki, progresivitas, dekonstruksi, tapi inti soalnya tetap saja: keluarannya bagus atau tidak? Sekadar memberontak namun tidak menghasilkan bentukan yang lebih baik sama saja dengan menelurkan kesuntukkan yang baru.

      Tentang posisi saya sebagai penulis, saya selalu siap dikritik, sekeras apa pun, selama terjelaskan alasan-alasan logis di balik kritik tersebut.

      Suka

      • Mono Ompong berkata:

        Parameter mana yang bisa dijadikan tolak ukur menyimpang itu bagus atau menyimpang itu tak bagus jika bukan persepsi subjekti pada kasus ini? Seorang bocah bisa saja mengatakan sebuah karya tak bagus dengan argumen keluar dari rumus yang ia percayai atau bahkan hanya dengan alasan membuatnya mengernyitkan dahi. Bagus atau tidak tidak bisa ditakar dengan sebuah hal bernama selera.

        Suka

      • rezanufa berkata:

        Duh, di review ini kan sudah dijelaskan kenapa saya menilai karya ini tidak bagus. Silakan dicermati lagi.

        Suka

  9. Mono Ompong berkata:

    Duh, sejak kapan plot tak beraturan, narasi tanpa metafora, miskin deskripsi suasana, sampai tanda petik menjadi indikator penyimpangan tidak bagus?

    Suka

    • rezanufa berkata:

      Sejak saya yang menjadi penilai.

      Suka

      • ridwan kamil berkata:

        Oh maaf, saya lupa. Ini ulasannya cuma komentar ya? Bukan kritik?

        Suka

      • ridwan kamil berkata:

        Saya tidak melihat jejak buku bacaan saudara selain novel eka doang. Duh, penyakit subjektivisme!
        Sialnya, saudara bilang sebagai pembaca. Kritik itu wilayah akademik, bung! Saudara mestinya bisa memberi daftar rujukkan buku untuk membedah novelnya. Ayo segera revisi! Memalukan.

        Suka

      • rezanufa berkata:

        Komentarmu sungguh menghibur. Makasih ya. 😀

        Suka

    • ridwan kamil berkata:

      Makanya harus diuraikan landasan teorinya. Penulis review ini entah lalai atau malas sehingga apa yg disampaikannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Katanya mengkritik sebagai pembaca. Tapi baca landasan kritik aja enggak kayaknya.

      Suka

Tinggalkan Balasan ke Mono Ompong Batalkan balasan